Lebaran kali ini, setelah tiga tahun dalam lingkup dampak masa Covid 19, masyarakat menumpahkan kerinduan pada keluarga. Jiwa berkecamuk untuk tunaikan silaturrahmi. Waktupun diluangkan pula untuk berbahagia bersama keluarga. Hasrat digelorakan ketempat yang dapat membuat penuh kesan baik dan indah bersama sanak saudara. Ternyata banyak orang yang memastikan Pantai Barat Mandailing Natal (Madina) sebagai lokasi pilihan.
Memang wilayah Pantai Barat Madina, telah dianugerahi Alloh dengan segala macam potensi untuk dikembangkan. Pantai yang sangat menarik menjadi tujuan orang berkeluarga untuk mengisi waktu kemenangan idulfitri. Wajib rasanya sanak banyak bersyukur dengan keberadaan Pantai Barat di Madina. Semakin ramai pula setelah pemerintah membangun jalan Lintas Barat Sumatera.
Fokus pada pariwisata di beberapa desa pantai selama lebaran, telah mendulang banyak rezeki bagi masyarakat. Hal ini sesuai dengan tujuan umum pariwisata itu sendiri yakni untuk memperoleh manfaat ekonomi, baik keuntungan untuk pelaku industri wisata, pekerjaan bagi komunitas lokal dan penerimaan bagi penduduk di obyek wisata. Industri pariwisata seperti keberadaan restoran atau rumah makan, bisnis usaha kecil dan layanan pariwisata lainnya secara langsung membuka lapangan pekerjaan di kawasan tersebut, yang dapat dikelola dan memanfaatkan tenaga kerja penduduk pantai setempat.
Sadar atau tidak, kegiatan pariwisata di objek wisata desa-desa di Pantai Barat telah memberikan multiplier effect yang menguntungkan bagi kesejahteraan penduduk setempat dan juga nama baik daerah. Dampak ekonomi mengacu pada perubahan pemasaran, pendapatan, lapangan pekerjaan dan lainnya, yang berasal dari kegiatan wisata.
Menariknya, industri pariwisata tak hanya powerful sebagai alat pemicu kesejahteraan daerah, tapi juga berpotensi menjadi mesin baru perekonomian penduduk setempat. Urgensi mengenai kuatnya mesin pertumbuhan baru ini tersirat dari kondisi kunjungan wisatawan di idulfitri ini. Dengan jejak kinerja yang mengesankan seperti ini, tak ada alasan untuk tidak menjadikan sektor ini sebagai sektor unggulan perekonomian desa pantai yang menjalankan dua fungsi sekaligus yakni mesin pertumbuhan dan mesin pemerataan.
Namun, kita sangat paham untuk lebih cepat besar butuh modal yang kuat. Disinilah konsep Trickle Down Effect (efek menetes ke bawah) sangat berpeluang menghasilkan lebih banyak lapangan pekerjaan dan pendapatan, yang akan berdampak pada seluruh lapisan masyarakat. Dalam trickle down effect, solusi untuk mendorong pertumbuhan perekonomian adalah dengan membiarkan masyarakat kelas atas (pemilik modal) berkembang terlebih dahulu.
Penduduk pemodal pariwisata ini akan dihadapkan pada lima unsur pokok penunjang pengembangan pariwisata, yang menurut Suwantoro harus menjadi perhatian untuk dirawat yakni objek dan daya tarik wisata; prasarana wisata; sarana wisata; tata laksana atau infrastruktur serta masyarakat dan lingkungan. Hal inilah yang menjadikan konsep trickle down effect benar-benar dibutuhkan untuk menutupi keterbatasan penduduk setempat memajukan industri wisata di Pantai Barat.
Prioritas harus pula diberikan untuk hal seperti tax amnesty, pemotongan pajak keuntungan, meringankan Pajak Penghasilan (PPh) perusahaan, penurunan tarif pajak individu pada penduduk pemodal. Pemerintah juga harus melonggarkan peraturan yang menguntungkan para pemilik modal demi rakyat lokal. Ini adalah bagian yang disebut dengan merawat iklim investasi.
Nantinya, setelah adanya keuntungan ekonomi yang telah diraih oleh penduduk pemodal, maka juga dapat memberikan dampak positif pada penduduk lapisan bawah. Konsep ini mengimplikasikan bahwa pertumbuhan ekonomi akan diikuti oleh aliran vertikal dari penduduk pemodal ke penduduk lainnya yang akan terjadi dengan sendirinya. Jadi, manfaat pertumbuhan ekonomi ini akan dirasakan penduduk pemodal terlebih dahulu, dan kemudian pada tahap selanjutnya penduduk lainnya mulai memperoleh manfaat ketika pemodal mulai mengoperasikan pertumbuhan ekonomi yang ditanamnya.
Lebih lanjut Belinda juga menjelaskan bahwa dampak ekonomi dengan pendekatan multiplier effect dari kegiatan wisata dikelompokkan pada tiga kategori, yaitu dampak langsung (direct), dampak tidak langsung (indirect), dan dampak lanjutan (induced). Dampak langsung ditimbulkan dari pengeluaran wisatawan secara langsung, seperti pengeluaran pada restoran, penginapan, transportasi lokal dan lainnya. Selanjutnya, unit usaha yang menerima dampak langsung tersebut akan membutuhkan input (bahan baku dan tenaga kerja) dari sektor lain, dan hal ini akan menimbulkan dampak tidak langsung (indirect). Selanjutnya jika pada sektor tersebut mempekerjakan tenaga kerja lokal, pengeluaran dari tenaga kerja lokal akan menimbulkan dampak lanjutan (induced) di lokasi wisata tersebut.
Sementara dalam strategi pemasaran lokasi wisata pada konsep trickle-down effect adalah dengan fenomena di mana sebuah iklan disebarluaskan dengan cepat dari mulut ke mulut atau viral marketing. Untuk itu, ada tiga hal urgen yang harus menjadi fokus pemikiran, yakni bagaimana membuat tamu/pengunjung betah tinggal berlama-lama; orang kembali datang berkunjung; dan pertambahan pengunjung dari informasi mulut ke mulut.
Karena secara umum manfaat ekonomi secara langsung dari kegiatan wisata berkaitan erat dengan pengeluaran pengunjung atau wisatawan. Wisatawan mengeluarkan sejumlah uang untuk memenuhi permintaan terhadap produk dan jasa di lokasi wisata dan hal ini menghasilkan pendapatan bagi penduduk setempat.
Intinya adalah semua sanak di Pantai Barat harus ikut merawat keadaan dengan cara yang baik. Terkhusus informasi lokasi wisata, semua lini harus berkontribusi memberi kabar baik keluar, sehingga menjadi pemicu dan pemacu orang berkunjung ke Pantai Barat.
Tentu tidak bisa dinapikan akan berhadapan dengan banyak kendala, kelemahan bahkan kerugian baik finansial, terutama moril, agama maupun sosial.
Untuk dampak negatif ini bukan berarti diabaikan, namun juga sangat tidak baik mengumbarnya ke publik. Apalagi yang mengumbar adalah sanak sendiri. Miris rasanya masalah-masalah sebagai dampak hiburan dari pendukung industri wisata yang sedang melaju di Pantai Barat, yang sebenarnya dapat diselesaikan secara bersama oleh sanak, tiba-tiba muncul berselueran di media.
Kewajiban merawat dampak ini adalah dengan cara memupakatkan dengan semua pihak, mulai dari raja dan tokoh adat, ulama dan tokoh agama, pendidik dan cendikia, pemuda, pengusaha, asosiasi wisata, pengelola transportasi, pelaku UKM terkait, pengusaha penginapan, dan Forkopincam. Stakeholder ini harus menjadi satu kesatuan yang utuh untuk merapatkan barisan mengikis secara perlahan dampak yang muncul.
Penting penguatan stakeholder untuk menjadi satu kesatuan yang bertugas dengan moril yang kuat untuk merawat segalanya secara bersama dengan komunikasi yang intens. Sanak-lah pemilik Pantai Barat dan sanak-lah pengelola Pantai Barat, sanak yang akan menikmati hasil Pantai Barat dan sanak yang akan bertanggunjawab terhadap Pantai Barat bagi generasi berikutnya.
Pastikan anugerah ini menjadi berkah dengan kewajiban sanak semua untuk merawatnya secara bersama, tipis kemungkinan ada orang luar yang akan membenahi. Berhentilah mengocehkan nagatipisme Pantai Barat di Media Sosial sekecil apapun itu, kitalah sanak yang akan bangga dengan Pantai Barat.
Penulis : Dr. M. Daud Batubara, MSi; Alumni Pascasarjana Perencanaan Wilayah dan Pedesaan.