Madinapos.com, Panyabungan – 2 Desember 2025 – Tragedi banjir bandang yang melanda sejumlah wilayah di Sumatra dan menimbulkan korban jiwa serta kerugian materil yang besar, mendapat sorotan tajam dari kalangan penegak hukum. Nur Miswari Simanjuntak, S.H., seorang advokat muda yang aktif di bidang hukum lingkungan dan hak asasi manusia, menyatakan bahwa bencana tersebut harus dilihat sebagai konsekuensi dari “kejahatan lingkungan terstruktur” dan bukan semata-mata takdir alam.
“Ketika hutan di hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) dibabat untuk kepentingan perkebunan, pertambangan, atau alih fungsi lain yang melanggar aturan, dan kemudian banjir bandang menghanyutkan permukiman di hilir, itu adalah hubungan sebab-akibat yang dapat dicegah secara hukum,” tegas Miswari dalam analisisnya, Rabu (1/12).
Analisis Hukum: Dari Kelalaian hingga “Strict Liability”
Miswari memaparkan setidaknya tiga lapis tanggung jawab hukum yang dapat dikenakan dalam tragedi semacam ini:
1. Tanggung Jawab Administratif dan Pidana bagi Pemberi Izin: Pejabat yang menerbitkan izin usaha di kawasan lindung atau hutan konservasi secara melawan hukum telah melakukan kelalaian yang menimbulkan korban (culpa). “Ini bisa menjerat mereka dengan Pasal 359 KUHP tentang kelalaian yang mengakibatkan orang mati, atau pasal-pasal dalam UU Tindak Pidana Korporasi dan UU PPLH,” jelasnya.
2. Tanggung Jawab Mutlak (Strict Liability) Pelaku Usaha: Merujuk pada Pasal 88 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH), Miswari menekankan bahwa korban tidak perlu membuktikan kesalahan perusahaan. Cukup dibuktikan adanya aktivitas usaha (seperti pembukaan lahan skala besar) dan dampak serius yang ditimbulkannya (banjir bandang).
“Prinsip strict liability ini adalah senjata paling kuat. Masyarakat korban bisa langsung menggugat perusahaan untuk ganti rugi dan pemulihan lingkungan, tanpa berbelit membuktikan kesalahan mereka,” ujar alumni Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Tapanuli Selatan (UMTS) ini.
3. Perbuatan Melawan Hukum (PMH) dan Gugatan Kelas (Class Action): Selain gugatan berdasarkan UU PPLH, masyarakat juga dapat mengajukan gugatan perdata berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata tentang Perbuatan Melawan Hukum. “Setiap perbuatan yang melanggar hukum dan menimbulkan kerugian, wajib diganti. Kerusakan hutan yang terbukti melanggar UU adalah perbuatan melawan hukum,” paparnya. Untuk efisiensi, gugatan dapat diajukan secara class action mewakili semua korban.
Mendorong Penegakan Hukum Progresif
Advokat muda yang kerap mendampingi komunitas terdampak ini mendesak aparat penegak hukum untuk tidak ragu menyentuh pihak-pihak yang dianggap bertanggung jawab, baik korporasi maupun oknum birokrat. “Ini ujian bagi integrasi penegakan hukum. Harus ada kerja sama antara Kepolisian, Kejaksaan, Kementerian LHK, dan Ombudsman untuk mengusut tuntas: siapa pemegang izin, siapa yang memberi izin, dan di mana pengawasannya,” tegas Miswari.
Ia juga mendorong para korban dan keluarga untuk bersatu dan memperjuangkan haknya. “Jangan hanya pasrah disebut musibah alam. Data ilmiah dari pakar UGM dan lainnya sudah jelas menunjukkan penyebab utamanya adalah kerusakan ekosistem. Data ilmiah itu bisa menjadi alat bukti yang kuat di pengadilan,” imbuhnya.
Peringatan untuk Masa Depan
Miswari mengakhiri dengan peringatan bahwa tanpa penegakan hukum yang tegas, siklus bencana ekologis akan terus berulang. “Menuntut pertanggungjawaban hukum atas bencana seperti ini bukan hanya soal keadilan restoratif untuk korban hari ini, tetapi juga upaya preventif yang paling nyata untuk menyelamatkan nyawa dan penghidupan masyarakat di masa depan,” tutupnya.
Analisis dari Nur Miswari Simanjuntak ini memberikan perspektif hukum yang tegas, mengubah narasi bencana dari sekadar ‘takdir’ menjadi sebuah pelanggaran hukum yang harus dipertanggungjawabkan. (Rls).











