Madinapos.com, Natal – Sebagai pengguna jalan lintas Sumatera di Panyabungan, hampir setiap hari kita melihat pemandangan yang mengusik nurani: anak-anak berseragam sekolah bersorak di jalan, duduk di atap angkot, bergantungan di pintu kendaraan, atau melanggar aturan berlalu lintas tanpa rasa bersalah.
Ironisnya, sebagian dari mereka baru saja keluar dari kelas pendidikan agama. Di sinilah paradoks pendidikan kita tampak begitu jelas, nilai agama diajarkan, tetapi tidak membentuk perilaku yang benar.
Kita menganggap sekolah akan melahirkan “orang baik”. Namun anggapan itu akan menjadi ilusi jika keluarga dan masyarakat tidak menjalankan peran mereka sebagai institusi pendidikan utama. Orang baik bukan hanya mereka yang berilmu tetapi juga berakhlak. Ilmu tanpa amal adalah pengetahuan kosong, sementara amal tanpa dasar ilmu adalah tindakan tanpa arah. Keduanya harus menyatu dalam diri seseorang.
Sayangnya, paradoks turunan dari sistem pendidikan adalah anak-anak yang mendapat pelajaran agama namun perilakunya jauh dari nilai-nilai agama. Kurikulum sering terpisah dari realitas sosial. Pelajaran akidah, akhlak, dan fikih lebih banyak berhenti pada hafalan, tetapi gagal menjadi panduan bertindak secara bijaksana.
Masalah di Sekolah
Sekolah sejatinya memiliki peran besar dalam membentuk karakter. Namun ada dua masalah mendasar.
Pertama, rendahnya keteladanan guru. Anak lebih mudah belajar dari perilaku gurunya daripada dari materi yang disampaikan. Sayangnya, tidak sedikit guru yang gagal menjadi figur teladan. Ketika kata dan perilaku guru tidak sejalan, pesan moral yang disampaikan akan kehilangan makna.
Kedua, metode pembelajaran agama kurang kontekstual. Pelajaran agama sering diberikan hanya sebagai teori. Guru jarang mengaitkan materi tauhid, fikih, atau akhlak dengan persoalan nyata yang dihadapi anak dalam kehidupan sosialnya. Padahal pepatah klasik menyebutkan, “Metode lebih penting daripada materi.” Akibatnya nilai agama berhenti sebagai slogan, bukan menjadi karakter.
Tidak heran jika kemudian banyak lahir penceramah atau penghafal konsep agama, tetapi minim keteladanan dalam kehidupan nyata.
Masalah di Keluarga
Banyak orang tua mengira bahwa tugas mendidik selesai ketika anak diserahkan kepada sekolah atau pondok pesantren. Padahal orang tualah yang harus hadir sebagai sahabat dan tempat berkeluh kesah anak. Ketidakhadiran orang tua secara emosional kerap membuat anak mencari ruang curhat ke luar, sering kali kepada teman sebaya yang justru membawa pengaruh negatif.
Tak mengherankan jika ada anak yang tampak baik di rumah namun nakal di luar. Mereka belajar menampilkan dua wajah karena tidak memiliki figur rujukan yang kuat di keluarga. Nabi Muhammad SAW sejak awal telah mengingatkan bahwa setiap anak lahir dalam keadaan suci, dan orangtua berperan besar menentukan arah pembentukannya.
Masalah di Masyarakat
Masyarakat adalah institusi pendidikan terbesar. Sekolah dan rumah hanya mengisi sebagian kecil waktu anak, selebihnya ia belajar dari lingkungan. Namun kini masyarakat pun mengalami perubahan nilai yang drastis.
Globalisasi dan media sosial menciptakan standar perilaku baru. Banyak perilaku menyimpang yang ditampilkan berulang-ulang di media sosial sehingga dianggap wajar. Fenomena anak duduk di atas angkot atau berkendara ugal-ugalan, misalnya, dinormalisasi karena sering muncul di ruang publik digital.
Di era post-truth sekarang, perilaku viral sering lebih dipercaya dan ditiru daripada nilai moral yang diajarkan. Jika pejabat publik saja sering menunjukkan perilaku yang bertolak belakang dengan pendidikan dan jabatan mereka, apa yang bisa kita harapkan dari anak-anak yang masih mencari jati diri?
Mengembalikan arah pendidikan
Jika kita menginginkan pendidikan benar-benar melahirkan orang baik secara massif dan berkelanjutan, maka tiga institusi sekolah, keluarga, dan masyarakat, harus bergerak serempak. Walaupun masalah di masing-masing institusi pendidikan ini cukup kompleks dan tidak dapat disederhanakan, setidaknya beberapa hal ini perlu menjadi perhatian utama.
Pertama, sekolah harus memperkuat keteladanan guru dan mengembangkan pembelajaran agama yang aplikatif, kontekstual, dan menyentuh kehidupan keseharian anak. Guru yang lemah secara metodologi harus dilatih untuk mengembangkan metode pembelajaran yang adabtif dengan perkembangan yang ada.
Kedua, keluarga harus hadir sebagai ruang dialog, bukan hanya ruang perintah. Orang tua harus menjadi sahabat moral bagi anak. Saat bersamaan orang tua harus memiliki sifat terbuka dengan banyak belajar memahami perkembangan anak.
Ketiga, masyarakat harus membangun kembali budaya kepedulian dan etika sosial, bukan menyerahkan sepenuhnya pendidikan karakter kepada sekolah. Nilai-nilai budaya dan kearifan lokal seperti dalihan na tolu sejatinya harus direvitalisasi untuk membangun tatanan sosial yang penuh kesantunan.
Tanpa rekonstruksi peran tiga institusi ini, paradoks pendidikan akan terus berulang. Kita akan terus memiliki generasi cerdas secara akademik tetapi rapuh secara moral, generasi yang menguasai teori agama tetapi gagap mengamalkannya.
Pendidikan karakter bukan proyek satu lembaga, tetapi proyek kolektif bangsa. Dan masa depan moral anak-anak kita ditentukan oleh seberapa serius kita mengakhiri paradoks ini hari ini.(R-Adanan)
Oleh
Dr. Rohman, M.Pd
(Dosen STAIN Mandailing Natal)











