Beberapa tahun lalu pernah dituliskan pada media ini sebuah artikel berjudul “OTONOMI NAMANGKAR” yang pada inti isi artikel adalah ketidakmampuan pemerintah pusat menahan birahi kekuasan terutama yang berhubungan dengan peluang anggaraan dan vinansial menguntungkan oknum, sehingga dirasakan merugikan secara vinansial oleh banyak oknum di kementerian. Sebagai akibatnya, secara perlahan pusat kembali menarik satu persatu kewenangan daerah dengan berbagai alasan kajian sepihak dari pemberi otonomi.
“Namangkar” berasal dari kata ‘Mangkar’ ditambah awalan ‘na’ adalah salah satu kosa kata Mandailing yang lebih dikenal oleh kaum ibu karena berhubungan erat dengan hasil proses memasak makanan. Sulit mencari kata yang sepadan dengan Mangkar dalam Bahasa Indonesia, yang dapat dimaknai sebagai kondisi panganan yang sudah selesai proses memasaknya dan telah matang, akan tetapi tidak sempurna hasilnya sehingga rasanya kurang sedap dan tidak pula bisa lagi diperbaiki.
Dapat juga disebut pada buah yang sudah matang namun karena proses pematangan tidak baik sehingga buah tersebut tidak sempurna rasanya. Inilah gambarkan pandangan pusat pada suasana otonomi yang sedang berjalan di kabupaten/kota saat itu dan sampai kini.
Logeman mengutarakan otonomi sebagai kebebasan untuk memelihara dan memajukan kepentingan khusus daerah, dengan keuangan sendiri, menentukan hukum sendiri dan pemerintahan sendiri. Pengertian otonomi dengan pemaknaan yang lebih terbatas dari etimologinya, yaitu kebebasan atau kemandirian tetapi bukan kemerdekaan. Namun kebebasan yang terbatas atau kemandirian itu adalah wujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan.
Masalah yang diatur dan diurus tersebut adalah tugas-tugas atau urusan-urusan tertentu yang diserahkan oleh pemerintah pusat kepada daerah-daerah untuk diselenggarakannya sesuai dengan kebijaksanaan, prakarsa dan kemampuannya sendiri.
Dengan pendekatan tersebut, UU Nomor 23 Tahun 2014, menyebut otonomi daerah sebagai hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan otonomi daerah. Sedangkan yang dimaksud dengan Daerah Otonom, (Daerah) ditafsirkan pula sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem NKRI.
Dengan demikian, masalah yang diatur dan diurus tersebut adalah tugas-tugas atau urusan-urusan tertentu yang diserahkan oleh pemerintah pusat kepada daerah-daerah untuk diselenggarakannya sesuai dengan kebijaksanaan, prakarsa dan kemampuannya sendiri. Sangat jelas bahwa otonomi yang ada pada kabupaten/kota merupakan pemberian kewenangan dari pemerintah pusat (pusat), dan bukan hak asli seperti otonomi desa.
Implikasi dari Otonomi Namangkar ini terhadap Kepala Daerah dan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (FKPD), sering menanggung derita, dari dampak buruk kebijakan pusat yang objeknya berlokasi di daerah. Contoh nyata adalah keberadaan PT. Sorik Marapi Geothermal Power (SMGP) yang beroperasi di Desa Sibanggor Julu, Kabupaten Mandailing Natal. Minggu 24 April sekitar pukul 09.30 WIB, diberitakan media bahwa terjadi semburan lumpur panas terjadi di Rig Pengeboran Panas Bumi milik SMGP. Kejadian ini satu hari menjelang Peringatan Hari Otonomi Daerah ke-XXVI.
Tepat tanggal 25 April 2022 pada Peringatan Hari Otonomi, CNN Indonesia mengurai informasi bahwa setelah beberapa kali rakyat sekitar lokasi operasi SMGP mengalami dampak dari kelalaian perusahaan, sebanyak 21 orang mengalami dampak buruk. Hal yang sama terjadi sebelumnya pada tanggal 25 Januari 2021 silam dan 07 Maret 2022, sehingga telah tercatat 58 orang yang kesemuannya rakyat yang berhubungan dengan keracunan gas.
Peringatan Hari Otda tahun ini, yang mengambil tema “Dengan Semangat Otonomi Daerah Kita Wujudkan ASN yang Proaktif dan Berakhlak dengan Membangun Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Rangka Mewujudkan Indonesia Emas 2045”. Lantas, dengan thema tersebut dan kondisi SMGP di Madina hari ini, apa yang senyatanya dialami kepala daerah tentang sinergi pusat dan daerah ?.
Tentu jawabannya jelas, bahwa kepala daerah sebagai pelaku otonomi dan pusat sebagai pengatur otonomi, dengan terpaksa mengambil langkah menyamankan rakyatnya dengan berbagai energi daerah tanpa energi dari pusat. Itulah bentuk sinergi yang harus ditanggung oleh kepala daerah bersama unsur forum komunikasi pimpinan daerah saat ini. Sedang pusat dengan alasan jarak dan pendekatan kekuasaan cenderung memantau dari kejauan.
Sebagai perusahaan yang menangani pekerjaan vitalitas tinggi bagi negara, orang dapat maklum bahwa hal yang demikian harus ditangani oleh negara, yang dalam bahasa sederhana bolehlah disebut sebagai urusan hubungan antar negara bersepakat. Dengan demikian sah-sah saja kalau perizinan diterbitkan oleh negara dan tentu penutupan izin juga dilakukan oleh negara setelah kajian yang memenuhi ketentuan.
Namun dalam proses eksplorasi, eksploitasi bahkan sampai pada pasca ekploitasi nantinya, harusnya negara memberi kewenangan tertentu kepada daerah untuk dapat membatasi kesewenang-wenangan perusahaan, dengann tujuan menjamin kapasitas rakyat di sekitarnya.
Ketika daerah dengan kajiannya telah melihat banyaknya kerugian yang terjadi pada masyarakat, seharusya ada kewenangan daerah sebagai azas jaminan span of control dalam konsep negara, yang setidaknya setingkat rekomendasi yang wajib dipertimbangkan oleh pusat. Kajian ini tidak membahas penutupan atau penarikan izin, karena hal tersebut dengan sifat yang vital, sehingga pasti kewenangan pusat.
Akan tetapi harus ada kewenangan untuk analisa yang terwujud dalam rekomendasi kelayakan SDM, kalayakan alat, kelayakan metode, kelayakan hubungan dengan rakyat sekitar bahkan kelayakan vinansial. Dengan demikian kegiatan perusahaan di daerah tidak mengangkangi kondisi daerah dan pimpinan perusahaan tidak memandang sebelah mata tehadap kepala daerah.
Hal ini penting karena sudah banyak daerah yang harus kerja keras untuk menata rakyat akibat dampak kegiatan yang kebijakan dan keuntungannya di pusat. Bak kata orang bengeknya saja yang untuk pemerintah daerah, lainnya untuk pusat. Tentu Logeman akan sangat tidak setuju dengan kondisi otonomi saat ini karena beliau mengedepankan ‘otonomi penting untuk memelihara dan memajukan kepentingan khusus daerah dengan keuangan sendiri, menentukan hukum sendiri dan pemerintahan sendiri’ dalam konsep otonominya.
Kajian ini terlihat sederhana saja, namun diyakini bahwa pusat sulit bergeming dari kondisi saat ini. Kondisi ini memberi gambaran seolah-olah otonomi daerah benar-benar mangkar dengan pemahaman bahwa setelah otonomi dijalankan, pusat selalu mempersepsikan seolah daerah tidak mampu melaksanakan urusan-urusan tersebut, sehingga harus dikembalikan ke asal pengelolanya.
Dapat diartikan bahwa seperti urusan pertambangan, kehutanan dan pendidikan lanjutan atas, tidak terpenuhi standarnya oleh daerah. Meskipun sampai saat ini standar capaian ketiga urusan ini oleh pemerintah yang lebih tinggi juga belum jelas.
Namun, apapun alasan terjadinya anggapan ‘otonomi namangkar’ terhadap beberapa urusan oleh pusat, harus sudah menjadi perhatian semua pihak di daerah. Terutama bagi Lembaga Eksekutif dan Legislatif, untuk lebih berhati-hati pada proses penyelenggaraan pemerintahan.
Hal ini tidak menutup kemungkinan dari waktu ke waktu akan terjadi penarikan urusan yang pada akhirnya, otonomi daerah nantinya hanya sebagai salah satu simbol demokrasi, sedangkan urusannya telah kembali ke pusat.
Bila urusan pemerintahan di daerah tidak dapat menjamin kesejahteraan rakyat, tentu gaya pemerintah kita yang terlihat masih melakukan pendekatan trial and error, akan memberi peluang yang tinggi untuk menarik urusan pemerintahan dengan alasan kesejahteraan rakyat.
Sehingga bila ingin otonomi yang telah diperjuangkan dengan berbagai pengorbanan dapat lebih baik ke depan, maka seluruh elemen di daerah benar-benar harus berfikir visioner untuk rakyat, karena alasan mengatasnamakan rakyat sangat menakjubkan dan menghipnotis semu lini.
Penulis : Dr. M. DAUD BATUBARA, Msi;
Pekerjaan : Staf Ahli Bupati Madina Bidang Pemerintahan & Hukum.