Terkait, Visi Ekonomi Dana Desa
Oleh : Askolani
Wajar saya kira ketika kita merasa bahwa ‘Dana Desa’ yang diproyeksikan untuk menunjang potensi ekonomi masyarakat, tidak maksimal. Persoalannya sederhana: 1) Desa tidak memiliki SDM yang memadai untuk merancang program dimaksud, 2) Pendamping Desa tidak mampu membuka wawasan demikian.
Ketika rapat dibiarkan mengambang, masing-masing warga mengusulkan kegiatan apa adanya. Karena itu, yang sering jadi program paling juga kegiatan fisik, semisal rabat beton dan drainase. Maka ketika saya memimpin rapat pengusulan program, saya segera men-skor rapat untuk menyusun pilihan-pilihan program yang memungkinkan lebih kreatif. Karena membiarkan rapat ‘ tak substansial ‘seperti itu sama sekali tak bermanfaat.
Persoalannya: pertama, dana pemberdayaan hanya 30 persen, Fisik 70 persen. Jadi kalau berorientasi fisik semua, wajar terjadi. Program Fisik juga terbatas, karena tidak boleh pembelian lahan. Misalnya kalau desa ingin membangun pusat kerajinan atau gudang pengasapan kakao, misalnya, itu terbentur tanah.
Selain sulit memperoleh tanah kosong, desa juga tidak punya kemampuan menyediakan lahan. Jadi program desa untuk membangun pusat kebudayaan desa misalnya, akan gagal karena lahan tak ada. Padahal itu bermanfaat untuk menguatkan kearifan lokal yang tertera dalam prioritas program dana desa.
Untuk program pemberdayaan, juga ada keterbatasan, Selain dananya hanya 30 persen, juga tidak boleh pembelian barang selain untuk kebutuhan pelatihan. Misalnya, ada program pelatihan insdustri makanan kreatif, dana yang tersedia tidak memadai untuk pengadaan mesin dan alat-alat produksi.
Kegiatan teknologi tepat guna untuk pertanian nyaris tidak tersentuh. Pertama, Desa tidak memahami barang seperti apa yang tergolong teknologi tepat guna, bagaimana proses pembuatan, di mana membelinya, dan sebagainya. Tragisnya, pendamping desa banyak yang tidak pernah ikut pelatihan. Jadinya, wawasannya lebih buruk dari peserta rapat. Energi alternatif apalagi, semuanya buta.
Paling repot, tahun depan, desa tidak tahu lagi peruntukan dana fisik, karena semua jalan lingkungan sudah rabat beton. Drainase tidak mendukung sektor perkebunan, sementara drainase sektor tanaman pangan sudah tuntas.
Jadi yang harus dilakukan saya kira: 1) harus ada regulasi baru untuk perimbangan pembangunan fisk dan pemberdayaan, 2) regulasi untuk pembelian tanah. Jauh lebih serius lagi persoalan diklat aparat desa. Masa untuk diklat saja mesti puluhan juta. Itu menjadi gula bagi semut-semut lain. (*)
Penulis : Askolani (Budayawan Madina)
Editor : alqaf
Kiriman: erwin