Kajian Impor Singkong Yang Tak Kunjung Rampung
Rugikan Petani dan Industri
Oleh : Luriana Taslim
Sudah setahun berlalu sejak pemerintah mencanangkan kajian pembatasan impor singkong, namun hasilnya tak kunjung ada. Kementerian Perdagangan pada awal Juni tahun lalu sedang gencar menertibkan aturan tata niaga impor komoditas, salah satunya adalah singkong. Satu per satu komoditas yang proses impornya bebas akan segera diatur pemasukannya. Dengan adanya aturan tersebut akan lebih mudah untuk mengatasi impor komoditas.
Harga singkong saat itu memang sedang anjlok-anjloknya, bahkan sempat mencapai Rp.400 per kilogram. Protes keras dari petani yang enggan memanen dan menjual singkongnya bisa jadi adalah pendorong bagi pemerintah untuk segera menerbitkan aturan pembatasan impor singkong. Namun kini di saat harga singkong telah membaik, nampaknya dorongan tersebut tidak ada lagi.
Padahal, penerbitan tata niaga impor ini dapat memberikan perlindungan produk singkong bagi petani lokal. Selama ini, impor singkong tidak pernah diatur dan dilepas kepada pelaku swasta. Impor singkong yang tinggi kerap menyebabkan produk dari petani lokal anjlok harganya. Salah satu opsi yang akan pernah disampaikan pemerintah dalam penerapaan aturan impor singkong adalah kewajiban melakukan penyerapan oleh perusahaan importir kepada petani. Dengan pemberlakuan tersebut, petani lokal dijamin keterserapan produknya sehingga harga akan menjadi lebih stabil.
Sayangnya hingga kini, aturan yang dinanti-nanti tidak kunjung selesai. Pengkajian belum selesai, pemerintah belum memperoleh dukungan penuh dari seluruh pihak, katanya. Padahal impor terus mengalir, dan permintaan terus meningkat. Jika pemerintah terus dan terlalu lama mengkaji, maka tidak mengejutkan apabila harga singkong kembali turun dan terjebak dalam siklus harga yang tidak terhenti. Harga yang berfluktuasi tentu bukanlah harga yang baik. Pergerakan harga yang drastis justru akan membawa risiko besar bagi seluruh pihak yang terlibat di dalamnya.
Contohnya industri tapioka. Harga singkong yang berfluktuatif membuat biaya bahan baku dari industri ini tidak menentu, sehingga perhitungan keuntungan menjadi tidak pasti. Dilema pun harus dihadapi ketika harga singkong menyentuh titik-titik ekstrim. Ketika harga sangat rendah, petani enggan menjual bahkan memanen singkongnya, membuat pabrik tapioka kekurangan bahan baku. Ketika harga sangat tinggi, pabrik tapioka harus menghadapi biaya bahan baku yang ikut meningkat, dan solusi bagi tingginya biaya ini adalah dengan menaikkan harga jual. Namun imbasnya, dengan harga yang tinggi tentu berarti penjualan akan berkurang.
Jika melihat lebih jauh lagi, industri pengguna produk turunan singkong juga ikut terkena dampaknya. Contohnya industri kerupuk. Tingginya harga singkong juga dikeluhkan oleh pengusaha kerupuk, akibat pengaruhnya yang membuat harga tapioka ikut naik. Bahan baku utama kerupuk adalah tapioka, dan tanpa tapioka industri kerupuk tidak dapat berjalan. Berbeda dengan yang terjadi di industri tapioka, pengusaha kerupuk tidak bisa sembarangan menaikkan harga ketika harga bahan baku sedang meningkat. Industri kerupuk sebagian besar berhadapan dengan konsumen akhir, tidak seperti industri tapioka yang biasanya berhadapan dengan industri lain yang akan mengolah produknya. Pengusaha kerupuk tidak bisa sembarangan menaikkan harga karena yang ada konsumen akan beralih dan membeli kerupuk lain yang lebih murah harganya. Langkah yang paling umum diambil adalah dengan tetap berjualan kerupuk pada harga yang sama, meskipun keuntungan yang diperoleh tidak sebesar biasanya atau bahkan merugi. Hal ini masih dianggap lebih baik, daripada menaikkan harga dan kerupuknya tidak dibeli sama sekali oleh konsumen. Sudah tidak laku, rugi pula.
Kajian pemerintah akan impor singkong sangat besar pengaruhnya terhadap petani dan industri yang terkait dengan singkong maupun produk turunannya. Kondisi harga singkong yang terus berfluktuatif akan terus berlanjut sampai kajian selesai dan pemerintah turun tangan dalam agribisnis singkong di negeri ini. Semakin lama kajian berlangsung, maka semakin besar risiko dan kerugian yang harus ditanggung petani dan industri singkong. **
Penulis : Luriana Taslim **
Mahasiswa Program Sinergi S1-S2 Agribisnis IPB