Madinapos.com, Panyabungan – Dalam setiap dasawarsa, pembangunan masjid secara nasional meningkat sebesar 65%. Berdasarkan data Simas Kemenag saat ini jumlah masjid yang terdaftar berjumlah 316.348 dan mushalla 388.652. Jumlah ini yang terdata secara resmi oleh pemerintah, namun ditaksir masih ada ribuan bahkan ratusan ribu masjid yang belum terdata.
Pada satu sisi peningkatan tersebut patut menggembirakan kita selaku umat muslim. Namun sayangnya peningkatan ini belum berbanding lurus dengan ketaatan dalam beragama. Banyak masjid berdiri megah di kota maupun desa, tetapi sepi dari denyut kehidupan umat. Fenomena ini menandakan bahwa masjid perlahan kehilangan roh sosialnya.
Padahal sejak masa Rasulullah, masjid bukan sekadar tempat sujud, melainkan pusat peradaban, pendidikan, dan pemberdayaan umat. Dari masjid lahir keputusan-keputusan penting, pengajaran ilmu, strategi perjuangan Islam, dan tak kalah penting masjid menjadi pusat pelayanan berbagai kebutuhan umat.
Dalam sejarah Islam Nusantara, masjid bahkan menjadi simbol pemersatu masyarakat lintas budaya dan agama. Para ulama dan kesultanan Islam menjadikan masjid sebagai titik awal pergerakan sosial dan pemberdayaan umat. Dakwah para Wali Songo, misalnya, tidak hanya mengajarkan syariat, tetapi juga menumbuhkan solidaritas, ekonomi, dan kesadaran kebangsaan.
Namun kini, fungsi strategis itu kian memudar. Banyak masjid yang megah secara fisik, tetapi sunyi dari aktivitas sosial. Padahal Allah menegaskan, “Sesungguhnya yang memakmurkan masjid hanyalah orang-orang yang beriman..” (QS. At-Taubah [9]: 18). Banyak ulama menyebut memakmurkan masjid bukan hanya membangun bangunannya, tetapi menghidupkan seluruh fungsinya sebagai pusat kehidupan sosial dan spiritual.
Fenomena tumbuhnya beragam pengajian di luar masjid menunjukkan semacam terjadi pergeseran orientasi keagamaan di kalangan umat Islam. Majelis taklim menjamur, sementara banyak masjid justru kosong dari jamaah shalat. Padahal ibadah berjamaah dalam Islam memiliki dimensi sosial yang kuat: mengajarkan kebersamaan, empati, dan tanggung jawab terhadap sesama. Dalam sebuah atsar disebutkan, “Berjamaah itu rahmat, perpecahan itu azab”.
Problem Masjid Sekarang
Berdasarkan pengalaman di lapangan, setidaknya ada tiga masalah utama masjid: kultural, finansial dan pola piker (mindset). Pertama, problem kultural. Banyak masyarakat hanya memanfaatkan masjid untuk ibadah seremonial seperti Jumat dan tarawih. Di luar itu, masjid sepi. Meski demikian, ada perbedaan antara masyarakat di perkotaan dan pedesaan.
Di perkotaan, dimana masyarakatnya cenderung lebih rasional dan dinamis, masjid mulai dikelola dengan profesional dan dimanfaatkan sebagai ruang social bersama. Sebagai contoh masjid Jogokaryan di Yogyakarta. Masjid ini mampu menggerakkan ekonomi warga melalui program koperasi dan pemberdayaan jamaah.
Sementara di desa, masjid cenderung hanya dimanfaatkan untuk ibadah shalat semata, sementara untuk kegiatan social mengambil tempat yang terpisah dari masjid. Pengelola masjid pun cenderung diisi oleh mereka yang memiliki status social tinggi tanpa menimbang aspek kemampuan dan profesionalitas.
Kedua, problem finansial. Problem laten masjid sejak dulu adalah soal keuangan. Tidak sedikit masjid yang keuangannya hanya mampu dan berputar untuk membayar operasional sehari-hari. Jika terjadi kerusakan fisik, maka pengurus sibuk menggalang dana dari berbagai sumber. Alih-alih melakukan program pemberdayaan, dalam hal ini masjid banyak rentan tak terurus.
Ketiga, problem pola piker (mindset). Sebagian umat masih memahami agama secara individual, sementara yang lain mencoba menegakkan dimensi sosialnya. Akibatnya, fungsi masjid sebagai pusat integrasi umat menjadi lemah. Banyak pengelola masjid masih berpikir bahwa memakmurkan masjid cukup dengan menjaga dan memelihara fisiknya. Sementara program pemberdayaan social dipandang bukan bagian penting dari memakmurkan masjid.
Pada sisi lain, muncul anggapan bahwa mengelola masjid harus dengan keikhlasan dan semangat sukarela. Hal ini seringkali membuat semangat mengelola masjid naik turun. Padahal, pengelolaan masjid menuntut profesionalitas, kreativitas, dan keterbukaan hati dan pikiran.
Mengelola masjid sejatinya harus dibarengi kompetensi dan perencanaan yang matang. Masjid yang ingin berdaya harus mampu mengelola potensi jamaah, mengembangkan unit usaha produktif, dan menggalang dana secara modern dan akuntabel. Profesionalitas dan inovasi bukanlah lawan dari keikhlasan, keduanya justru harus diwujudkan dalam pengabdian yang cerdas.
Sialnya, muncul pula kecenderungan menjadikan masjid sebagai arena kontestasi perebutan pengaruh dan peningkatan status social di masyarakat. Akibatnya, jamaah sering terbelah dan kegiatan ibadah terganggu. Sehingga masjid kehilangan fungsinya sebagai rumah Allah yang seharusnya mempersatukan seluruh golongan.
Masjid Kita, Harapan Kita
Di Mandailing Natal, khususnya daerah Panyabungan dan sekitarnya, banyak masjid berdiri megah tetapi belum berfungsi optimal. Sebagian masyarakat datang ke masjid hanya untuk “kepentingan” pribadi, bukan untuk memakmurkan rumah Allah. Padahal, daerah yang dikenal religius ini semestinya menjadi contoh bagaimana masjid dapat menjadi ruang kebersamaan sekaligus pusat gerakan sosial dan ekonomi umat.
Karena itu, menghidupkan kembali fungsi sosial masjid bukanlah gagasan baru, melainkan revitalisasi peran aslinya. Memang, sebagian fungsi historis masjid kini telah diambil alih oleh negara, namun karena negara kerap abai terhadap persoalan umat, maka masjid harus kembali tampil di garis depan.
Masjid harus menjadi ruang membangun kesadaran spiritual, solidaritas sosial, dan etos kerja umat. Ia harus dikelola dengan baik, profesional, dan memiliki dukungan finansial yang memadai agar tidak berhenti sebagai simbol, tetapi benar-benar menjadi pusat kemajuan.
Jika dikelola secara profesional dan didukung oleh warga yang berjiwa maju, tidak menutup kemungkinan masjid tidak hanya menjadi solusi atas merosotnya moral generasi bangsa tetapi juga jadi solusi atas himpitan ekonomi umat.
Revitalisasi masjid adalah kebutuhan masa depan kita. Dari masjidlah seharusnya lahir generasi yang berilmu, berakhlak, dan berdaya. Jika masjid hidup, masyarakat pun akan hidup. Dari sujud di masjid, kita belajar untuk bangkit menegakkan kebaikan di muka bumi. Khairun nas anfa‘uhum lin nas.
(R-Adanan).
Oleh : Dr. Rohman, M.Pd
(Pengajar Filsafat Pendidikan Islam di STAIN MADINA).











