Madinapos.com, Jakarta — Nurul Fadhilah Susantri Nasution, mahasiswi Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Andalas, yang berasal dari Desa Bonca Bayuon Kecamatan Lingga Bayu Kabupaten Mandailing Natal, berangkat ke gedung DPRD RI mewakili Provinsi Sumatera Utara dalam program Pemuda Parlemen Indonesia 2025, Senin (27/10).
Dalam agenda nasional ini, ia membawa aspirasi penting terkait isu lingkungan dan otonomi daerah, dengan menyoroti kondisi hutan serta tata kelola kewenangan di Kabupaten Mandailing Natal dihadapan DPR RI Komisi II.
Gadis Cantik manis ini menilai bahwa daerahnya menjadi potret nyata paradoks otonomi daerah di Indonesia berdasarkan data Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara tahun 2023, sekitar 60,19% atau sekitar 392 ribu hektare ditetapkan sebagai kawasan hutan. Ironisnya, terdapat 144 desa yang secara administratif masih tercatat berada di dalam kawasan tersebut, padahal masyarakat telah turun-temurun hidup dan bertani di sana.

“Secara status, kami dianggap pendatang di tanah sendiri. Pemerintah daerah tidak bisa berbuat banyak karena urusan kehutanan masih berada di bawah kewenangan pusat,” ujar Nurul saat penyampaian aspirasi di ruangan Komisi II DPR RI.
Ia menjelaskan bahwa kondisi ini menyebabkan pembangunan desa terhambat, mulai dari perizinan hingga pengalokasian anggaran.
Melalui forum Pemuda Parlemen Indonesia, Nurul ingin menyuarakan pentingnya reformulasi kebijakan otonomi daerah, terutama di sektor kehutanan. Ia berharap DPR RI dapat meninjau kembali regulasi sektoral agar pemerintah daerah memiliki ruang lebih besar untuk mengatur dan mengurus wilayahnya sesuai dengan karakter lokal.
” Mandailing Natal adalah contoh kecil dari banyak daerah lain di Indonesia yang menghadapi masalah serupa. Ketika otonomi tidak memberi ruang untuk bertindak, yang lahir bukan kemandirian, tapi ketergantungan,” tuturnya.
Nurul juga mendorong adanya mekanisme koordinasi lintas sektor antara pusat, provinsi, dan kabupaten yang berbasis pada data sosial dan spasial. Dengan begitu, kebijakan kehutanan tidak hanya berpijak pada peta administratif, tetapi juga mempertimbangkan realitas manusia yang hidup di dalam kawasan hutan.
Bagi Nurul, isu otonomi daerah bukan semata soal kewenangan, tetapi soal kedaulatan lokal — hak masyarakat untuk menata ruang hidupnya sendiri dan menjaga alam tanpa harus menunggu izin dari jauh.
” Bagi kami di daerah, pembangunan bukan sekadar program, melainkan keberlanjutan hidup. Dan bagi saya, otonomi bukan sekadar istilah hukum, tapi hak untuk berdiri di atas kaki sendiri” pungkasnya. (Hamzah).











