Menu

Mode Gelap

Berita Daerah

PENTINGNYA MEMBENTUK KESALEHAN INSTITUSIONAL


					PENTINGNYA MEMBENTUK KESALEHAN INSTITUSIONAL Perbesar

Madinapos.com, Panyabungan – Salah satu misi utama Islam adalah menghadirkan kemaslahatan bagi seluruh makhluk di alam semesta (rahmatan lil ‘alamin). Karena itu, Islam disebut agama yang relevan di setiap ruang dan waktu (shalih li kulli zaman wa makan). Namun, Islam tidak pernah memaksa pemeluknya untuk memahami ajarannya secara tunggal. Al-Qur’an menegaskan, “Tidak ada paksaan dalam beragama” (QS. Al-Baqarah [2]: 256) dan “Sekiranya Tuhanmu menghendaki, niscaya manusia menjadi satu umat saja” (QS. Hud [11]: 118).

Sejak awal kemunculannya, Islam selalu berakulturasi dengan budaya dan karakter masyarakat tempat ia berkembang. Akan tetapi, ada prinsip-prinsip fundamental yang harus tetap menjadi ruh ajaran Islam di mana pun ia berada: ketauhidan, keadilan, amanah, tanggung jawab, persaudaraan, kemanusiaan, musyawarah, dan kemaslahatan (maqashid syariah). Prinsip-prinsip ini menuntut untuk terus dikontekstualisasikan agar ajaran Islam tetap hidup dan menjawab tantangan zaman.

Kegagalan mengontekstualisasikan nilai-nilai dasar Islam sering membuat agama tampak kaku dan tidak relevan dengan kehidupan modern. Alih-alih menjadi solusi bagi masalah sosial, agama justru dipersepsikan sebagai penghambat kemajuan. Padahal, kemajuan dan perubahan sosial merupakan bagian dari fitrah manusia yang tidak bisa dihindari.

Tulisan ini tidak bermaksud menguraikan secara rinci cara mengontekstualisasikan ajaran Islam, melainkan mengajak kita melihat kembali cara beragama yang cenderung terjebak pada kesalehan individual semata sebuah corak keberagamaan yang justru berpotensi menjauhkan agama dari realitas sosial dan institusional.

Kesalehan dalam Beragama
Secara bahasa, “saleh” berarti baik, benar, pantas, dan membawa manfaat. Lawannya adalah fasad, yang berarti kerusakan. Karena itu, orang saleh adalah mereka yang menghadirkan kebaikan dan menjauhkan kerusakan. Para ulama mendefinisikan orang saleh sebagai individu yang menunaikan hak-hak Allah melalui ibadah, tauhid, dan ketaatan serta menunaikan hak-hak manusia dengan berlaku adil, menolong sesama, dan berakhlak mulia.

Dalam konteks kekinian, kesalehan tidak hanya mencakup hubungan dengan Allah (hablun minallah) dan sesama manusia (hablun minannas), tetapi juga dengan alam dan lingkungan (hablun minal ‘alam). Kesalehan yang utuh adalah kesadaran bahwa beragama tidak berhenti pada hubungan spiritual dengan Tuhan, melainkan juga tanggung jawab sosial dan ekologis dalam kehidupan bersama.

Seiring perkembangan zaman, hubungan antarmanusia kini tidak lagi berlangsung secara tradisional, tetapi terlembaga dalam sistem modern seperti birokrasi pemerintahan, lembaga pendidikan, organisasi sosial, dan korporasi. Karena itu, kesalehan juga harus hadir di dalam dan melalui lembaga-lembaga tersebut.

Dari sinilah muncul gagasan kesalehan institusional yakni kemampuan menghadirkan nilai-nilai keagamaan dalam sistem, kebijakan, dan budaya kerja institusi (baca Kuntowijoyo; Azra; Cak Nur; dan Gus Dur).
Kesalehan Institusional
Kesalehan institusional sejatinya adalah wujud konkret dari fungsi kekhalifahan manusia di bumi (lihat QS. Al-Baqarah [2]: 30; QS. Shad [38]: 26; QS. Al-An’am [6]: 165). Manusia dipanggil untuk menegakkan amanah moral, keadilan, dan kebenaran dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam pengelolaan institusi dan negara.

Kesalehan institusional juga merupakan perwujudan dari nilai-nilai ukhuwah: ukhuwah wathaniyah (persaudaraan kebangsaan), ukhuwah insaniyah (persaudaraan kemanusiaan), dan ukhuwah diniyah (persaudaraan keagamaan). Lembaga yang saleh adalah lembaga yang menghadirkan kemaslahatan bagi masyarakat, bukan hanya bagi kelompoknya sendiri.

Karena itu, kesalehan institusional harus dilihat secara komprehensif, bukan parsial. Sebuah institusi bisa disebut “saleh” bila memiliki arah kebijakan yang adil, transparan, berorientasi pada pelayanan publik, dan menjamin keadilan sosial. Indikator kesalehannya tidak diukur dari banyaknya simbol keagamaan di ruang kerja, dan bukan juga banyaknya ungkapan syar’i yang diucapkan orang-orangnya, tetapi dari seberapa besar manfaat dan keadilan yang dirasakan masyarakat akibat kebijakan yang dibuat.
Paradoks Beragama
Sayangnya, praktik keberagamaan kita masih didominasi oleh paradigma kesalehan individual.

Banyak orang menganggap bahwa ibadah ritual sudah cukup menjadi ukuran ketaatan, sementara perilaku di ruang publik atau institusional berjalan seolah terpisah dari nilai-nilai agama.
Paradoks ini tampak nyata. Tidak sedikit pejabat, pegawai, atau tokoh agama yang dikenal taat beribadah, tetapi tersandung kasus korupsi, kolusi, dan penyalahgunaan wewenang. Di satu sisi, mereka rajin ke masjid, gemar bersedekah, dan tampak santun di masyarakat. Namun di sisi lain, mereka terlibat dalam praktik manipulatif di kantor atau lembaga tempat mereka bekerja.

Fenomena semacam ini menunjukkan bahwa kesalehan individual belum tentu berbanding lurus dengan kesalehan sosial dan institusional. Agama hanya berhenti di sajadah, tidak menjelma dalam sistem kerja, kebijakan publik, atau etos pelayanan. Dalam konteks ini, pelanggaran terhadap sistem di tempat kerja dianggap tidak berkaitan dengan pelanggaran terhadap ajaran agama.
Paradoks beragama semacam ini muncul karena kegagalan memahami ajaran Islam secara utuh. Agama sering ditempatkan dalam ruang privat, sementara urusan institusi dianggap sekuler. Padahal, dalam pandangan Islam, setiap amanah sosial adalah bagian dari ibadah dan tanggung jawab moral.

Kesalahan lainnya terletak pada sistem pengetahuan dan cara berpikir yang masih terkungkung paradigma lama. Banyak lembaga masih beroperasi dengan logika kekuasaan dan kepentingan pribadi, bukan logika kemaslahatan publik. Akibatnya, agama kehilangan daya transformasinya dalam tata kelola sosial dan kelembagaan.

Di tengah krisis integritas lembaga-lembaga publik, membangun kesalehan institusional menjadi agenda mendesak bangsa ini. Agama tidak boleh berhenti pada tataran simbol dan ritual, tetapi harus hidup di dalam sistem, kebijakan, dan budaya kerja setiap lembaga baik pemerintahan, pendidikan, maupun masyarakat sipil.

Islam sebagai agama yang membawa rahmat harus tercermin dalam keadilan birokrasi, kejujuran administrasi, tanggung jawab kebijakan, dan kepedulian sosial. Kesalehan sejati bukan hanya diukur dari seberapa sering seseorang beribadah, tetapi seberapa besar kebaikan yang ia hadirkan bagi sesama melalui institusi tempatnya bernaung. (R-Adanan).

Oleh: Dr. Rohman, M.Pd
(Pengajar Filsafat Pendidikan Islam di STAIN Mandailing Natal)

Facebook Comments Box
Artikel ini telah dibaca 37 kali

badge-check

Writer

Baca Lainnya

Bupati Madina Buka Musda DPD IKANAS Sumut 2025

25 Oktober 2025 - 12:41

Literasi dan Lomba Bahasa MAN 1 Mandailing Natal 2025 Berlangsung Sukses

24 Oktober 2025 - 20:02

BPBD Deli Serdang Gelar Giat Rutin Susur Sungai di Lubuk Pakam dan Batang Kuis ‎

24 Oktober 2025 - 18:12

Tingkatkan Disiplin Guru dan Pengawas, Pemkab Deli Serdang Terapkan Absensi Digital

24 Oktober 2025 - 18:06

Afnan Lubis SH dan Keluarga Salurkan Infak Untuk Mesjid Nurul Iman dan Nurul Falah Desa Batahan I

24 Oktober 2025 - 10:59

Usai Musdes KUD Produsen Bina Mufakat Baru Batahan I Surati Bupati dan Perusahaan Perkebunan

24 Oktober 2025 - 08:34

Trending di Berita Daerah