Menu

Mode Gelap

Opini

Ibu di Mandailing (Pandangan Sosio-Antropologis terhadap Umak)


					Ibu di Mandailing (Pandangan Sosio-Antropologis terhadap Umak) Perbesar

Sangat jarang seorang ibu (umak-umak) tidak menangis pada moment pemberangkatan putrinya sesaat beranjak dari pintu depan rumahnya untuk diserahkan dan akan hidup bersama dengan seorang pria idaman sang putri. Padahal itu saat-saat Alloh telah mengabulkan doa untuk jodoh putrinya yang memang telah menjadi urusan Nya. Para ibu (umak-umak) di Mandailing juga ternyata melakukan hal yang sama, yaitu menangis mengantarkan tangan putrinya pada tangan seorang pria yang akan menjadi imam, dan bukan tersenyum meskipun itu moment yang sangat membahagiakan.

Sambil kelakar, saya pernah menanyakan hal ini beberapa kali pada umak-umak yang sudah mengalami hal yang sama. Umak-umak biasanya menjawab ”terharu”, terhadap kebahagian dengan terkabulnya doa serta teringat bagaimana sang umak mebesarkan putrinya yang penuh getiran hidup sampai berhasil mengantarkannya mengawali ruang kehidupan baru.

Jelas, sangat bagaimana sikap para ayah-ayahnya, yang meskipun ada yang menetes air matanya pada moment yang sama, tapi masih dapat dihitung jari, mungkin saja karena malu atau laki-laki memang lebih kuat, tapi mungkin pula karena rasa kasih sayang yang dimiliki ibu terhadap anak jauh lebih dalam dari pada seorang suami.

Bak kata sastrawan menggambarkan kasih ini, “Kasih ibu sepanjang hayat, kasi bapak sepanjang jalan, kasih saudara sepanjang temali”. Hal ini semakin jelas ketika kemudian umak-umak diajak bicara kenapa mereka sampai terisak berlama-lama. Pada umumnya sang umak menjawab, “Baen naso amu dei dabo na jadi inang nai”. (Karena bukan kaliannya itu yang menjadi sang ibu itu).

Lebih lanjut umak-umak mengakui bahwa pada kenyataanya benar bahwa para laki-laki sebagai kepala rumah tangga dengan ototnya yang memang lebih kekar dan kuat berkerja. Tapi dibalik kekekaran para pria yang mengaku kepala rumah tangga itu, ternyata sangat banyak di back up oleh umak-umak tangguh yang berjibaku untuk sebuah rumah tangga di Mandailing.

Bagaimana tidak ?, senyatanya waktu yang digunakan oleh seorang umak dalam rumah tangga di Mandailing, pada umumnya terutama para petani, jauh lebih banyak berlipat-lipat dari pada seorang ayah yang mengaku sebagai kepala rumah tangga, yang seharusnya bertanggungjawab di dalam rumah tersebut. Kita dapat merenungkannya, bagaimana curah waktu kerja seorang umak mulai dari bangun pagi sampai malam hari cenderung ia istrihatnya hanya pada saat tidur malam.

Dengan kata lain dalam sehari semalam sang umak hanya istirahat pada tidur malamnya saja atau bolehlah dihitung saat ibadah dan membersihkan dirinya dianggap istirahat. Para umak dalam hidupnya seharian dominan produktif untuk keluarga dan sangat sedikit yang bersifat konsumtif.

Beda sangat dengan para ayah yang baru bangun sudah lebih dulu mengisap rokok, dilanjut dengan mengopi di lopo dan seterusnya sampai malam masih banyak yang melakukan tindakan yang bersifat komsumtif. Dan tanpa sadar banyak pria di Mandailing menganggap bahwa hal seperti ini biasa saja.

Tidak pernah membayangkan bahwa satu jenis pekerjaan sang umak seperti marorot (mengasuh), pun tidak akan mampu seorang ayah, baik secara mental maupun fisik. Jadi tidaklah baik bila seakan wanita yang mereka nikahi bukan untuk mereka bahagiakan, tapi cenderung untuk dibebani tanggungjawab pencarian nafkah bagi keluarga.

Pantaslah para umak sering menyebut “Baen naso amu dei dabo na jadi inang nai”, ternyata sering di Mandailing bahwa sang umak lebih banyak pikiran, waktu dan pengorbanan lainnya dalam membela keluarga. Namun begitupun, bagi pria Mandailing jangan sampai disebut “stir kiri” (dibawah kendali istri) meskipun senyatanya kalau bukan stir kiri, agaknya banyak rumah tangga di Mandailing yang kolap.

Hal ini dapat dibuktikan keberadaan umak-umak petani yang bekerja di sawah dan di ladang, dibanding pria, demikian pula waktu yang digunakan antar mereka untuk mengabdi bagi keluarga. Boleh pula dilihat keberadaan pria di Lopo (kedai kopi) atau sejenisnya dengan membandingkannya dengan keberadaan umak-umak ditempat sejenis.

Para umak pantas terisak-isak saat menyerahkan putrinya ketangan pria, ternyata banyak yang membayangkan dengan kekhawatiran kondisi yang dialaminya akan terulang pada putrinya, hingga dibalik moment kebahagiaan tersebut, tersirat kondisi pahitnya menjadi seorang ibu. Hanya rasa cintalah yang dapat menguatkan sang umak atas kekuatannya dalam meneruskan kebahagiaan dengan perjuangan pada rumah tangganya.

Beranjak dari keadaan ini, ucapan-ucapan selamat yang berselueran di media sosial seperti, “Aku mencintaimu dan berharap Ibu mendapatkan Hari Ibu yang terbaik; Ibu, terima kasih untuk setiap pelukan, kata-kata semangat, dan rasa cinta yang telah Ibu berikan kepadaku.

Selamat Hari Ibu; Selamat Hari Ibu, terima kasih karena selalu menjadi contoh cemerlang dari apa yang aku inginkan saat aku dewasa; Selamat Hari Ibu, semoga hari ini Ibu mendapatkan hari yang tenang dan santai; Selamat Hari Ibu, terima kasih telah menjaga kami dengan baik, aku tahu itu tidak selalu mudah; Ibu, terima kasih karena telah membawaku ke dunia ini dan memberikan cinta serta perhatianmu kepadaku. Selamat Hari Ibu”, rasanya belum cukup kata-kata seperti ini untuk umak-umak di Mandailing di saat Hari Ibu, karena mereka lebih dari apa yang ada dalam ucapan tersebut.

Ternyata umak-umak di Mandailing lebih dari yang di duga, mereka memiliki karakter yang luar biasa tangguh dalam memperjuangkan keluarga. Hampir sepanjang hari dan bagian malam merupakan waktu mengabdi bagi keluarga. Bila berbicara tentang pemberdayaan perempuan, malah baik pula rasanya untuk mengkaji pendekatan yang terbalik di Mandailing.

Pantas dipikirkan untuk melakukan pemberdayaan kesadaran pria dalam keluarga di Mandailing. Ada harapan yang kuat, bahwa bila para pria menggunakan curah waktu kerja sebanyak curah waktu kerja umak-umak akan dapat mempercepat kondisi Mandailing yang lebih sejahtera. Tidak ada yang bisa dibandingkan dengan cinta dan tindakan nyata seorang umak di Mandailing bagi keluarganya. Sekali lagi penting desain untuk menguatkan karakter Pria Mandailing setangguh umak-umak dalam menggunakan waktu memperjuangkan keluarga.

(Dr. M. Daud Batubara, Msi; Tulisan ini di dedikasikan bagi para Ibu Pejuang Rumah Tangga di Mandailing, di Hari Ibu 22 Desember 2022).

Facebook Comments Box
Artikel ini telah dibaca 140 kali

badge-check

Writer

Baca Lainnya

Cermin Politik di Pilkades

2 September 2023 - 09:22

Bagaimana Jika Dalihan Natolu Diimplementasikan Pada Wacana Peradaban Baru Koperasi Indonesia Di Mandailing Natal

29 Juli 2023 - 08:47

Mengawal Pemilu 2024 Dengan Partisipasi Masyarakat

28 Mei 2023 - 17:21

Strategi Pembangunan Sosial Partisipatif Mewujudkan Madina Bersyukur dan Berbenah

27 Februari 2023 - 15:34

Jangan Mudah Terpengaruh, Informasi Belum Tentu Berita

18 November 2022 - 09:05

Uji Kompetensi Kepala Sekolah, (Konsep Berbenah Pendidikan di Madina)

8 November 2022 - 06:23

Trending di Opini