Menu

Mode Gelap

Opini

Marbante…


					Marbante… Perbesar

Sebagaimana layaknya daerah lain yang penduduknya mayoritas beragama Islam, tentu saja masyarakat Mandailing memiliki kearifan lokal yang sudah menjadi tradisi turun temurun dalam menyambut bulan Suci Ramadhan dan bulan kemenangan Syawal yakni “Marbante”.

Tradisi ini sesungguhnya jika ditelaah secara antropologis, sosiologis dan teologis merupakan bukti penghambaaan manusia kepada pencipta-Nya secara vertikal (habalumminalloh) dan juga mempererat hubungan sesama manusia lainnya secara horizontal (habalumminannash).

Tradisi ini diyakini lahir sebagai perwujudan sekaligus ungkapan kesukacitaan, kegembiraan dan juga kebahagiaan menyambut datangnya bulan yang penuh keberkahan yaitu Ramadhan dan bulan kemenangan yaitu Syawal.

Kendati tidak ada satupun referensi yang menyebutkan sejak kapan tradisi ini bermula karena memang tarikhnya tidak diketahui pasti namun menjadi suatu kepastian jika tradisi dimulai sejak Islam menyebar di tanah Mandailing.

Sangat memungkinkan tradisi ini sudah ada sebelum pasukan Paderi melakukan ekspansi ke berbagai wilayah yang ada di Luat Mandailing.

“Marbante” secara etimologi berasal dari kata Bante. Bante sendiri menurut saya adalah merupakan aktifitas atau tindakan fisik untuk memotong motong bagian tubuh dari hewan ternak ukuran besar seperti sapi dan kerbau yang telah disembelih terlebih dahulu untuk menyambut Bulan Ramadhan dan juga Bulan Syawal.

Bante secara konotatif mengandung makna tindakan yang keras, kuat, dan juga kasar. Kesemua tindakan ini dilakukan dengan maksud dan tujuan tertentu.Bante menurut saya hampir hampir identik dengan frasa Jagal kendatipun makna jagal ini jauh lebih sadis dan kejam dan biasanya dipersepsikan untuk manusia.Semacam mutilasi begitulah kira kira.

Jadi “marbante” itu adalah aktifitas atau tindakan fisik yang dilakukan secara bersama untuk menyembelih dan memotong motong hewan ternak ukuran besar yang disembelih guna tujuan dan maksud tertentu yakni menyambut bulan keberkahan (Ramadhan) dan bulan kemenangan (Syawal).

Diluar dari kedua bulan dalam penanggalan Tahun Hijrah tersebut tidak akan pernah diketemukan istilah atau tradisi seperti itu walaupun sekali seminggu atau sekali dalam beberapa hari ada sapi atau kerbau yang dipotong di pasar untuk menutupi kebutuhan daging bagi masyarakat. Tidak pula istilah “marbante” ini dinisbatkan untuk lembu atau kerbau yang disembelih untuk acara adat atau pesta pernikahan. Frasa yang dipake biasanya “manggotap” atau memotong.

Sebagai tradisi yang kental dengan ajaran agama, masyarakatpun merasa berkewajiban untuk menghadirkan menu daging atau “juhut” dalam bahasa Mandailing sebagai lauk dihari pertama Ramadhan sebagai bentuk kesyukuran menjalani ibadah shoum ini dan tidak kalah pentingnya juga menu ini akan kembali dihadirkan dalam rumah tangga ketika hari terakhir bulan Ramadhan yang dimaknai sebagai kegembiraan atas tercapainya bulan Syawal.

Karena sudah tradisi, “juhut” ini menjadi menu khusus dengan berbagai olahan seperti rendang atau disop dan didendeng.

Masyarakat berbondong bondong kepasar mulai dari pagi bahkan hingga sore dengan harapan harganya pada sore hari akan menurun. Keramaian itu akan mengakibatkan daerah sepanjang jalan lintas sumatera utamanya di pekan kecamatan dipastikan mengalami kemacetan akibat pasar tumpah yang meluber kejalanan. Panyabungan, kota kecil mendadak riuh meriah.Kemacetan dimana mana. Bunyi klakson mobil hingga beca dan roda dua menambah kebisingan yang tidak terelakkan lagi.Dalam perjalanan ke Padang Sidempuan hari ini, saya menyaksikan keramaian yang luar biasa dipekan Mompang, dan juga Malintang.Antrian mobil dan bus mewarna perjalanan yang cukup menyita waktu dan energi tersebut.

Ini menjadi tontonan yang unik, sesuatu hal yang dirindukan bagi para perantau yang bermukim diluar wilayah Mandailing.

Hari ini, semua anggota keluarga memiliki kesibukan masing masing mulai dari ayah, ibu hingga anak anak. Belanja bahan bahan untuk gulai hingga memetik sayuran semua dilakukan dengan kegembiraan dan penuh keakraban.

Hari ini seluruh anggota keluarga berkumpul bersama dan bahkan para perantau biasanya juga akan mudik untuk “mangalomang”, “mangalame” dan menikmati gulai daging tadi dirumah orang tuanya. Sebuah perayaan kemenangan secara sederhana yang diawali dari makan malam bersama untuk membatalkan puasa terakhir di bulan Ramadhan.

Begitulah kebahagian dan keceriaan menjelang hari “kemenangan” yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Begitu banyak makna yang tersirat dari tradisi “marbante” ini seperti kesetiakawanan sosial, kegotong royongan, kebersamaan, kekeluargaan dan yang lain sebagainya. Dan yang pastinya ini harus dituturkan kepada anak cucu…untuk kehidupan yang lebih baik dimasa yang akan datang.

SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI 1443 H

Oleh : Moechtar Nasution, Penulis adalah Pemerhati Sosial Kemasyarakatan Madina, berdomisili di Panyabungan

Facebook Comments Box
Artikel ini telah dibaca 170 kali

badge-check

Writer

Baca Lainnya

Menilik Potensi Ego Sektoral Dalam Trias Politika di Era Kepemimpinan Prabowo

17 Desember 2024 - 21:15

Tokoh Adat Ajak Warga Batahan Pilih SAHATA demi Keberlanjutan Pembangunan

5 November 2024 - 17:35

Tokoh-tokoh Nasional Asal Madina Bersiap ‘Turun Gunung’ Menangkan SAHATA

5 November 2024 - 08:44

Abang Betor Panyabungan Titipkan Asa di Pundak Paslon SAHATA

4 November 2024 - 17:28

Ribuan Warga Hadiri Hiburan Rakyat TKD Bobby-Surya Madina

3 November 2024 - 19:53

Teriakan Bobby-Surya di Sumut, SAHATA Untuk Madina Bergema di Pesta Rakyat

3 November 2024 - 17:54

Trending di Berita Daerah