Menu

Mode Gelap

Opini

Peran Pendidikan Dalam Mencetak Generasi Yang Moderat


					Peran Pendidikan Dalam Mencetak Generasi Yang Moderat Perbesar

Negeri yang kaya akan budaya, bahasa, ras, suku dengan beragam pola pikir dan sudut pandang, tentu saja melekat pada raga Indonesia. Sebagai Negara yang besar dengan keberagaman tentu saja Indonesia bisa dijadikan contoh dalam banyak hal, tak terkecuali bermoderasi.

Pemerintah negara Indonesia secara resmi mengakui enam agama, yaitu Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu. Perbedaan ini tentu saja mengajarkan kita tentang ragam yang menyatukan yang bisa kita lakukan dengan istilah “Moderasi Beragama”. Lalu pertanyaannya, “apa itu Moderasi Beragama?”

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan Moderasi sebagai pengurangan kekerasan/penghindaran keekstreman. Yang dengannya kita bisa memahami bahwa Moderasi merupakan sebuah sikap yang tidak ekstrem atau fanatik dalam beragama dengan tetap menjalankan kewajiban-kewajiban yang di tuntut dalam Agama yang dianut tersebut. Moderasi beragama adalah cara pandang kita dalam beragama secara moderat, yakni memahami dan mengamalkan ajaran agama dengan tidak ekstrem, baik ekstrem kanan maupun ekstrem kiri (berada ditengah-tengah).

Mantan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin dalam berbagai kesempatan sering sekali mengatakan bahwa Moderasi Beragama merupakan jalan tengah dalam keberagaman Agama di Indonesia. Agama Islam sendiri terdapat konsep Washatiyah yang di dalamnya terkandung makna tawassuth (tengah-tengah), I’tidal (adil) dan tawazun (berimbang). Lalu dimana kita bisa menemukan dan belajar tentang keberagaman yang menyatukan dan sikap moderat ini ?

Nilai-nilai moderasi beragama harus diajarkan sedini mungkin, dan satu sistem yang bisa menekankan nilai tersebut adalah pendidikan. Sistem yang pada dasarkan akan menjadi ladang ilmu dan meningkatkan kualitas diri dalam menerima perbedaan dan cara pandang. Seperti yang kita tahu bahwa pendidikan pertama adalah pendidikan dari keluarga, lalu disusul lingkungan masyarakat dan lingkungan sekolah atau lingkungan pendidikan lainnya (pendidikan formal) yang tentu saja memberikan pengaruh pada sikap dan pola pikir kita. Sekolah atau kampus menjadi tempat yang tepat untuk menumbuhkan dan menguatkan pemahaman tentang moderasi beragama tersebut.

Dikutip dari buku terbitan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama yang berjudul Moderasi Beragama (2019) menyebutkan ada 4 nilai utama yang menjadi inti gerakan moderasi beragama, yaitu komitmen kebangsaan, kerukunan, anti kekerasan dan kearifan terhadap budaya lokal. Tentu saja nilai-nilai tersebut bisa disemaikan di lingkungan pendidikan, terutama lingkungan pendidikan formal.

Seperti yang kita tahu bahwa lingkungan pendidikan formal memberi kebebasan untuk berfikir dan berideologi, yang dengan hal tersebut ditengah perbedaan kita bisa menemukan alasan-alasan untuk memperluas pengetahuan dan menanamkan sikap toleransi. Meski tak jarang terdengar kabar buruk bahwa banyak lingkungan pendidikan (kampus) yang menyuburkan paham radikalisme namun penerapan sistem pendidikan yang baik akan mengarahkan kita untuk menguatkan komitmen beragama dan menyuarakan toleransi. Di tingkat pendidikan tinggi, penanaman sikap moderat sedikit lebih menantang sebab tempat belajarnya orang-orang dewasa ini juga menjadi tempat lahirnya keterbukaan pikiran yang luas.

Di kutip dari berita yang dipublikasikan balitbangdiklat.kemenag.go.id bahwa dunia kampus sebagai “kawah candradimuka” keilmuan dan tempat penempaan calon pemimpin bangsa masa depan memang dituntut selalu dinamis. Perbedaan paham dan pemikiran adalah sesuatu yang biasa. Di sana terdapat banyak kelompok-kelompok kajian baik keilmuan maupun keagamaan. Masa menjadi mahasiswa adalah masa otonomi berfikir, pematangan dan penemuan identitas diri. Namun jangan lupa, masa mahasiswa dan dunia kampus adalah tempat membaca konstruk masyarakat Indonesia seperti apa yang terbaik untuk kolektifitas kita sebagai bangsa.

Untuk tingkat sekolah, hal yang bisa dilakukan dalam upaya mencetak generasi yang moderat adalah dengan menetapkan kurikulum keagamaan yang disertai pembinaan yang tepat oleh tenaga pendidik, mengajarkan nilai-nilai sosial antar siswa, menekankan pada siswa tentang pentingnya kerukunan dan menghargai perbedaan, mengajarkan dan memberi contoh tentang akhlak dan perilaku yang baik.

Untuk di tingkat pendidikan tinggi (kampus) yang bisa dilakukan adalah menanamkan sikap bijak dalam menyikapi peristiwa dalam kehidupan, membuat kelompok-kelompok sosial, melibatkan mahasiswa dalam memecahkan masalah sosial dan konflik keagamaan, mengarahkan dan mengontrol kegiatan-kegiatan organisasi mahasiswa kampus dan membuka dialog-dialog yang bertema kebangsaan. Dengan demikian maka penting sekali bagi kita untuk menjadi seorang yang terdidik, tetap menjaga persatuan dengan menjunjung tinggi sikap moderat dan memahami arti dari sebuah keberagaman.

Penulis : Ade Irma Suryani (Mahasiswi Fakultas Syariah dan Hukum UIN SUMUT)

Dosen Pembimbing : Muhammad Jailani S.Sos, M.A

Facebook Comments Box
Artikel ini telah dibaca 142 kali

badge-check

Writer

Baca Lainnya

ADAB (Menyimak Penyelenggara Negara di Akhir 2023 )

17 November 2023 - 09:45

Cermin Politik di Pilkades

2 September 2023 - 09:22

Bagaimana Jika Dalihan Natolu Diimplementasikan Pada Wacana Peradaban Baru Koperasi Indonesia Di Mandailing Natal

29 Juli 2023 - 08:47

Mengawal Pemilu 2024 Dengan Partisipasi Masyarakat

28 Mei 2023 - 17:21

Strategi Pembangunan Sosial Partisipatif Mewujudkan Madina Bersyukur dan Berbenah

27 Februari 2023 - 15:34

Ibu di Mandailing (Pandangan Sosio-Antropologis terhadap Umak)

23 Desember 2022 - 18:12

Trending di Opini