Kabinet Indonesia Maju sudah dibentuk oleh presiden Jokowi. Sebagian pengamat menyebut komposisi kabinet ini pas, sebagian netizen yang kecewa menganggap kabinet asal-asalan karena bukan profesional yang didudukkan sebagai menteri yang menguasai bidangnya. Salah satunya adalah menteri pendidikan Nadiem Makarim. Dia telah resmi terpilih sebagai Mendikbud, bagi kalangan generasi konservatif pendidikan menganggap Nadiem tidak bakal sanggup memahami pendidikan. Tapi bagi generasi milenial hingga generasi Z menganggap ditunjuknya Nadiem sebagai penantian terobosan-terobosan membangun ekosistem pendidikan memanfaatkan celah digital demi penguatan literasi digital.
Sebagaimana publik ketahui, Nadim Makarim adalah pendiri Gojek, decacorn dengan nilai hingga Rp 140 triliun. Sampai di sini paham ya mengapa Nadiem ditunjuk sebagai Mendikbud di usia 35 tahun. Nadiem Makarim boss Go-Jek, putra dari Nono Anwar Makarim, dulu wartawan Tempo. Dan kemenakan dari jenderal Zacky Anwar Makarim, orang intel BAIS. Ibunya, dari marga Algadrie, ‘Alawiyyiin, Ba ‘Alwi. Mereka, walaupun keturunan Arab, dikalangan Arab (Yamani) Indonesia sendiri, dikenal sebagai keluarga Liberal.
Nadiem dianggap berjasa telah berhasil memecah kebuntuan ditengah meningkatnya bonus demografi, dengan diaktualisasikan lewat ide ide sederhana tapi berdampak nyata bagi dunia kerja akhir akhir ini yang stagnan. Nadiem mungkin berjasa saat membuka aplikasi gojek dengan tujuan mulia, mengentaskan pengangguran dan mengurangi angka kemiskinan. Slogan perusahaan anak negeri menjadi sebutan utama bagi gojek. Seiring perjalanan gojek, mereka harus menerima gelimangan materi dari investor. Gojek, sebuah aplikasi yang membawa jutaan data penggunanya. Perusahaan mana yang tidak mau bermitra dengan gojek?
Tetapi lepas dari latar belakang pribadinya maupun bisnisnya, yang perlu disoroti kedepan dengan terpilihnya Nadiem Makarim adalah soal Kurikulum Pendidikan Nasional. Kurikulum adalah sarana untuk mencetak manusia masa depan. Lewat pembelajaran di usia dini seorang manusia. Maka pertanyaan utamanya adalah: manusia seperti apa yang diinginkan di masa depan?
Manusia yang pandai? Atau manusia yang berkarakter? Atau manusia yang berbudi pekerti baik?
Berkaitan dengan Ranah Nata yang diyakini sebagai pusat pendidikan Agama Islam. Dalam sejarahnya, jauh sebelum perang paderi, tokoh sekelas Tuanku Lintau diyakini belajar ajaran Islam di Natal. Dan menurut catatan sejarah, pada tahun tersebut, Ranah Nata telah memiliki beberapa Ulama terkenal, ada Syekh Abdul Fattah Sinantiku, Syekh Abdul Rauf Sinantiku, Syekh Muhammad Alwi Sinantiku, juga Syekh Abdul Fattah Mardia. Sedang Syekh Abdul Malik, dan Syekh Abdul Syukur sepertinya masih dalam usia belia/belum lahir. Maka, pembentukan kurikulum pendidikan mestinya juga disesuaikan dengan kultur dan masyarakat yang kebetulan sudah akrab dengan pola pendidikan model pesantren. Di masyarakat Melayu, anak-anak saat masih usia dini pergi ke surau atau musholla, di usia sekolah ya masuk ke pendidikan pesantren. Dengan menteru pendidikan baru berlatar Havard dan bukan profesional di bidang pendidikan, kira-kira bisakah kurikulum berbasis kultur Ranah Nata diwujudkan?
Ada banyak PR Nadiem berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan diatas. “Mengapa harus manusia pandai, atau manusia berkarakter, atau manusia berbudi pekerti?” Sebagaimana ujar Prof. Dr. Ir. Mohamad Nuh, mantan Mendiknas. Mantan Menteri Kominfo. Alumni ITS dan Perancis. Mantan rektor di almamaternya.
Yang dimasa Pak Nuh-lah kurikulum ‘K-13’ dirumuskan. Yakni di tahun 2013. “Saya memilih ‘dan’. Bukan ‘atau’,” ujar beliau.
Maka, katanya, yang akan dicetak adalah ‘manusia yang pintar dan berkarakter dan berbudi pekerti baik. “Pinter saja tidak cukup,” katanya. Tentu Pak Nuh siap berargumentasi. “Teknologi itu berubah terus. Mungkin tiap tahun. Bahkan bisa tiap tiga bulan,” katanya.
Maka kurikulum yang diperlukan adalah yang bisa membuat kapasitas otak menjadi besar. “Kalau kapasitas otaknya besar manusia bisa menerima perubahan secepat apa pun,” katanya.
Perubahan jaman yang sangat cepat kemudian disikapi Nadiem dengan mengimpor ahli pendidikan dari luar negeri ke Indonesia. Sebab, kata Nadiem, Indonesia tak punya ahli pendidikan. Konon katanya reformasi besar-besaran dibidang kurikulum pendidikan. Masih ada tambahan: harus melibatkan teknologi. Harus fleksible. Bisa dengan cepat menyesuaikan dengan perkembangan. Terutama kecepatan perubahan teknologi.
Jika saja Nadiem mau bertanya ke Prof Conni Semiawan, mantan Rektor IKIP Jakarta, maka berapa ahli pendidikan yang dibutuhkan akan bisa didapatkan dari produk lembaga-lembaga pendidikan nasional, tidak harus impor.
Kendala pendidikan nasional yang selama ini adalah ketersambungan antara dunia pendidikan dengan dunia kerja yang seolah antara dunia pendidikan tidak tersambung secara nyata dengan dunia kerja. Seringkali realitasnya sarjana pertanian tetapi bekerja sebagai kasir bank, ada juga berlatar pendidikan sarjana tapi harus terima menjadi cleaning servis dan seterusnya, dan seterusnya banyak contoh di lapangan.
Maka tugas Nadiem Makarim selanjutnya sebagai Mendikbud harus punya terobosan lebih konkret memanfaatkan teknologi sebagai daya dobrak penguatan literasi digital dengan disinkronkan pada kesinambungan proses antara dunia pendidikan dan dunia kerja.
Menjamurnya info-info hoax yang selama ini dialami para generasi milenial dan generasi Z akhir akhir ini juga dampak nyata dari miskinnya tradisi literasi digital dikalangan dunia pendidikan.
Untuk itu Nadiem diharapkan mampu memberikan sumbangsih nyata terobosan penguatan literasi digital sebagai daya dobrak antusiasme dunia pendidikan memanfaatkan teknologi sebagai penguatan SDM unggul berbasis kerja.
Literasi digital yang harapannya jadi tradisi baru dunia pendidikan negeri ini juga mampu membangun energi kreatifitas memanfaatkan celah digital sebagai daya dobrak ekonomi lewat kekuatan dunia pendidikan.
Ia harus melakukan terobosan dan inovasi untuk mempercepat SDM unggul di negeri ini. Selama ini, pendidikan kita digarap secara konvensional, sehingga meskipun diguyur dengan anggaran sangat besar, tetap belum dapat melakukan lompatan jauh ke depan. Sarana untuk itu di era digital dan online saat ini, sudah tersedia. Lihat Ruang Guru, pembelajaran online yang masif. Akan bisa menjangkau daerah-daerah minus sekolah maupun tenaga pendidik di pelosok sepanjang ada ketersediaan internet. Sebagaimana terobosannya di Gojek, Nadiem adalah jagonya disitu. Ia banyak melakukan inovasi yang tidak pernah terbayangkan oleh kita yang hanya bekutat di ruang kelas yang sempit.
Nadiem kemungkinan akan melanjutkan inovasi yang selama ini dia lakukan di Gojek. Dunia pendidikan Indonesia akan lebih akrab dengan teknologi. Berbicara kepada media di Istana Negara, sebagaimana dilansir detik.com, Nadiem mengatakan dunia pendidikan Indonesia adalah yang terbesar keempat di dunia. Namun belum banyak perubahan dalam 20-30 tahun terakhir meskipun Mendikbud dan Menristekdikti sudah membuat banyak kemajuan.
Oleh : Muttaqin Kholis Ali,S.Pd
Guru Komputer SMA N 1 Tambangan