Menu

Mode Gelap

Opini

Impor Dan Ketahanan Pangan


					Impor Dan Ketahanan Pangan Perbesar

Pada era perekonomian global seperti sekarang ini, perdagangan internasional mutlak diperlukan. Sistem autarki sudah tidak sesuai lagi untuk diterapkan karena setiap negara memiliki perbedaan dengan negara lainnya. Perbedaan tersebut dapat ditinjau dari sudut sumber alam, iklim, letak geografis, penduduk, keahlian, tenaga kerja, tingkat harga, keadaan stuktur ekonomi dan komdisi sosial. Inilah alasan perlu dilakukan kegiatan ekspor dan impor.

Sangat memungkinkan bahwa ada barang yang hanya  dapat diproduksi di daerah dan iklim tertentu, atau karena suatu negara mempunyai kombinasi faktor-faktor produksi lebih baik dari negara lainnya, sehingga negara itu dapat menghasilkan barang yang dapat lebih bersaing. Adakala produksi dari suatu negara belum dapat dikonsumsi seluruhnya di dalam negeri. Maka apabila mereka melakukan perdagangan, hal ini memberikan peluang pada setiap negara untuk mengekspor  barang-barang yang faktor produksinya menggunakan sebagian sumberdaya yang berlimpah dan mengimpor barang-barang yang faktor produksinya langka atau mahal jika diproduksi di dalam negerinya.

Pelaksanaan impor bahan pangan di Indonesia akhir-akhir ini menjadi sorotan publik. Kegiatan impor seakan menjadi kegagalan pemerintah dalam menciptakan ketahanan pangan bagi masyarakat. Menurut Peraturan Menteri Perdagangan No 48/M-DAG/PER/7/2015 tentang ketentuan umum di bidang impor dijelaskan bahwa kegiatan impor dilakukan dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan atas barang yang belum dapat diperoleh dari sumber di dalam negeri baik untuk keperluan produksi industri nasional maupun konsumsi masyarakat. Artinya impor dilakukan pada saat produksi dalam negeri tidak mampu memenuhi kebutuhan atas barang tersebut.

Ketahanan pangan menurut undang-undang No 18 Tahun 2012 tentang pangan didefenisikan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi masyarakat sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau, serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkualitas. Artinya pemerintah harus menyediakan bahan pangan bagi masyarakat dalam jumlah yang cukup, beragam, merata dan terjangkau. Tidak hanya tersedia dalam jumlah yang cukup, bahan pangan tersebut juga harus memiliki mutu yang baik, aman secara fisik dan aman secara rohani.

Upaya untuk  mencapai kondisi ketahanan pangan, tidak mensyaratkan sumber atau asal pangan. Sumber pangan dapat berasal dari produksi dalam negeri, cadangan, atau impor.  Artinya impor adalah salah satu kebijakan yang bisa diambil pemerintah guna memenuhi kebutuhan domestik dan sebagai upaya dalam menstabilkan harga. Badan Pusat Statistik mencatat  impor bahan pangan terbesar periode Januari-November 2018 adalah biji gandum dan meslin mencapai 9,2 juta ton kemudian diikuti komoditas gula seberat 4,6 juta ton. Lalu, Impor garam 2,5 juta ton, kedelai 2,4 juta ton serta beras 2,2 juta ton, jagung 587, 26 ribu ton dan bawang putih 448,32 ribu ton. Sebagian besar bahan pangan impor tersebut adalah bahan pangan yang jumlah produksi dalam negerinya belum dapat mencukupi kebutuhan domestik. Bahkan gandum adalah bahan pangan yang 100% berasal dari impor.

Meningkatnya kebutuhan domestik yang tidak diiringi dengan peningkatan produksi membuat pemerintah harus melakukan impor bahan pangan. Beberapa waktu yang lalu kita menyaksikan kenaikan harga bawang putih  di berbagai daerah. Hal ini disebabkan minimnya pasokan di tingkat pedagang. Menurut Kementerian Pertanian (Kementan) konsumsi bawang putih paling besar adalah sektor rumah tangga dengan persentase 92,63 persen dan sisanya untuk konsumsi tidak langsung (bahan baku industri, kebutuhan benih, dan tercecer) sebesar 7,37 persen. Data Susesnas menunjukkan konsumsi langsung bawang putih oleh kelompok rumah tangga periode 2002-2016 berada dalam tren peningkatan dengan rata-rata 5,07 persen per tahun.

Pertumbuhan konsumsi ini tidak diimbangi dengan pertumbuhan produksi bawang putih nasional. Angka produksi bawang putih pada 2013-2016 masing-masing adalah 15.766 ton, 16.893 ton, 20.295 ton, dan 21.150 ton dan mengalami penurunan pada 2017 menjadi 19.510 ton. Luas lahan panen bawang putih juga naik turun. Penurunan paling parah terjadi pada 2014 di mana luas lahan panen hanya 1.913 hektare, menyusut dibanding 2013 yang mencapai 2.479 hektare. Pada 2017, lahan panen bawang putih di Indonesia tercatat seluas 2.146 hektare dengan produktivitas sebesar  9,09 ton per hektare.Walaupun ini merupakan angka produktivitas tertinggi yang pernah terjadi, jumlah ini hanya sanggup memproduksi lebih kurang 5 persen dari total kebutuhan bawang putih nasional. Padahal kebutuhan bawang putih nasional setiap tahunnya dapat mencapai 500-600 ribu ton.
Impor sebenarnya hal biasa dalam perekonomian global seperti saat ini. Namun data produksi dan konsumsi pangan masih menjadi persoalan di tanah air. Padahal, data tersebut digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan. Jika data tidak akurat, maka keputusan jadi salah sasaran. Kita dapat belajar dari polemik impor beras tahun 2018 dimana Kementerian Perdagangan memutuskan untuk melakukan impor sedangkan Kementan menyatakan terjadi surplus beras. Akurasi data pangan perlu segera diperbaiki, sehingga semua pihak sepakat dengan data tersebut.

Namun tergantung pada impor tentu saja tidak memberikan pemasukan pada negara. Secara agregat adanya impor akan berdampak pada nilai Produk Domestik Bruto (PDB) suatu negara, sebab impor merupakan variabel pengurang dari ekspor untuk mendapatkan nilai ekspor bersih pada PDB. Ketika pemerintah memutuskan untuk menambah impor, hal yang harus dipertimbangkan adalah menjaga stabilitas nilai PDB melalui investasi, konsumsi, pengeluaran pemerintah dan ekspor bersih/net exports (neraca perdagangan). Neraca perdagangan diperoleh dari selisih ekspor dan impor. Ketika ekspor lebih besar dari impor maka suatu negara mengalami surplus perdagangan.  Begitupun sebaliknya, jika impor lebih besar dari ekspor maka suatu negara mengalami defisit perdagangan.  Impor pangan hanyalah sebuah solusi jangka pendek, karena itu usaha pencapaian swasembada pangan harus terus diupayakan.(**)

Penulis : Alfayanti ** Mahasiswa Magister Sains Agribisnis
Institut Pertanian Bogor
Photo : Koleksi Pribadi Penulis

Facebook Comments Box
Artikel ini telah dibaca 8 kali

badge-check

Writer

Baca Lainnya

ADAB (Menyimak Penyelenggara Negara di Akhir 2023 )

17 November 2023 - 09:45

Cermin Politik di Pilkades

2 September 2023 - 09:22

Bagaimana Jika Dalihan Natolu Diimplementasikan Pada Wacana Peradaban Baru Koperasi Indonesia Di Mandailing Natal

29 Juli 2023 - 08:47

Mengawal Pemilu 2024 Dengan Partisipasi Masyarakat

28 Mei 2023 - 17:21

Strategi Pembangunan Sosial Partisipatif Mewujudkan Madina Bersyukur dan Berbenah

27 Februari 2023 - 15:34

Ibu di Mandailing (Pandangan Sosio-Antropologis terhadap Umak)

23 Desember 2022 - 18:12

Trending di Opini