Jam Tangan Karet Murahan
***
“Kkrriiiiinnnngg…” alarm berbunyi. Tepat pukul lima subuh aku bergegas berlari ke kamar mandi mengambil wudhu, setelah selesai sholat aku melakukan kegiatan rutinku. Seperti biasa, merapikan tempat tidur, menyapu rumah, mencuci piring, lalu membantu ibu menyiapkan sarapan pagi, setelah itu aku akan bergegas ke kamar mandi, membersihkan diri, lalu bersiap-siap berangkat ke sekolah bersama adikku Feby.
“Bbyyuuuuurrr…“ segelas air tumpah di kepalaku, aku kaget bukan main lalu membalikkan tubuh, aku melihat adikku Feby si super jahil tersenyum dan memundurkan langkahnya, aku geram luar biasa. “HBD kakak sayang,“ ucapnya lalu menempelkan bibirnya ke bibir gelas yang ada dalam genggamannya. Aku tak menggubrisnya. Meski tak lupa hari ini hari ulang tahunku, namun ucapan selamat yang pertama kuterima darinya benar-benar tidak mengenakkan hati.
Dengan muka masam aku berlari ke kamar mandi, ia menyusulku dan masih senyum-senyum cengengesan. Aku sama sekali tak menghiraukannya. Selesai mandi kami bersiap-siap, bergantian menghias diri di depan cermin. Puluhan kali hape-ku berdering, chat masuk tiada henti. Sudah kuduga, itu pasti ucapan selamat dari teman-temanku. Tapi aku tak sempat untuk membalas mengucapkan terima kasih. Waktu sangat mepet, jika kuladeni chat yang masuk bisa-bisa aku telat ke sekolah hari ini.
Di meja makan ibu tersenyum melihatku, sebuah rangkulan hangat kuterima pagi ini. Begitu hangat, melebihi kehangatan sang mentari. Ayah juga mencium keningku. “Selamat ulang tahun sayang, semoga rahmat dan kasih sayang Tuhan senantiasa bersamamu.” Ucap mereka bersamaan. Aku terharu, lalu kucium pipi ibu dan ayah. “Aamiin.“ Aku membalas tersenyum. Kulirik adikku Feby, ia memerengkan bibirnya padaku, cemberut, sepertinya cemburu. Aku merangkulnya, “Makasih ucapan selamatnya,“ ucapku padanya, seketika itu rasa kesalku subuh tadi menghilang. Ada rona bahagia pagi ini di rumah kami, rangkulan hangat kami terima dari ibu dan ayah sebelum berangkat ke sekolah. Senyum mengambang di bibirku.
*****
Pukul empat sore. Kulemparkan sepatu sekolah ke tempat biasa setelah tiba di rumah. Hari ini begitu melelahkan, ada banyak tugas di sekolah, ulang tahunku pun menjadi sasaran. Ada banyak melemparkan kesalahan kepadaku sebagai bentuk rasa usil untuk mengerjai seseorang yang sedang memperingati hari jadinya. Hhhhuuufff, sedikit kesal juga namun berimbang dengan kebahagiaan, ada banyak ucapan selamat yang kuterima, bahkan kado juga.
Namun ada yang mengganjal pikiranku saat ini, kuperiksa isi chat-ku, tak ada pesan masuk dari Ita, kakakku yang saat ini sedang kuliah di kota kecil yang berjarak kurang lebih enam jam dari tempat tinggal kami. Kubuka fb tak ada juga pesan di dindingku. Kotak masuk sms juga kosong. Akkh, rasanya kesal sekali, mengapa dilupakan? Dengan langkah gontai aku berjalan ke kamar lalu menghamburkan diri ke tempat tidur. Ada sesuatu di kamarku, mataku tertuju pada sebuah kotak kado di meja belajar. Aku melompat mengambil kado itu, dengan ekspresi penasaran aku membukanya, tanpa melihat nama pengirimnya.
“Hhhhuuuu..!“ aku bersorak kesal melihat isinya, dengan menggunakan kedua jariku, jempol dan telunjuk, aku mengangkat benda itu. Hanya sebuah jam tangan karet murahan. Spontan saja kulemparkan jam itu ke tempat tidur, tubuhku kembali menghambur menyusul jam tangan itu. Hape-ku berdering, chat masuk di wa-ku.. “Apakah kirimannya sudah sampai? selamat ulang tahun Amy sayang, semoga panjang umur, makin pintar dan jadi anak yang soleha. Eitz, jangan pandang dari apa yang kakak berikan, tapi manfaatkanlah waktumu sebaik mungkin, menjadikannya lebih berharga melalui jam tangan karet sederhana itu.“
Aku mencibir membaca pesan itu, tanpa bisa menangkap makna kata-katanya, “Menjadikan waktu lebih berharga melalui jam tangan karet murahan.“ Mmmm, begitu murahkah? Apa bedanya dengan jam tangan berlian, toh waktunya tetap saja sama, tidak akan berkurang ataupun bertambah. Tetap saja 24 jam satu hari satu malam. Aku meraba kembali jam tangan itu, memandangnya, mencocokkannya di pergelangan tanganku. Mmmm.. Manis juga ternyata.
Seketika itu juga pikiranku terbuka, mulai mengerti apa maksud kakak. Ada banyak di antara kita yang tak bisa menghargai waktu meski jam tangan yang melekat di pergelangan tangan dibeli dengan harga jutaan rupiah. Bahkan untuk waktu 10 menit saja berdialog dengan Tuhan tak tersempatkan.
Aku meraba kembali apa yang sudah kulekatkan di pergelangan tangan kiriku. “Kubisikkan pada kakak, “Terima kasih sudah mengingatkanku perihal waktu.” Pesan suara lewat chat itu kukirimkan padanya. Serasa ada yang sudah kusia-siakan sebelumnya. Aku menyesal.
*******
Penulis : Risna Yanti Ita
Editor : Alqaf
Photo: Koleksi pribadi/Net – photoeditor/