Karena Sepenuhnya Aku Menyayangi
***
Tentu saja aku ingin menjadi yang terbaik untuk adik-adikku. Lea Febi, Inun Ai dan Putra. Jika kukatakan “tidak“ untuk permintaan mereka ada nyeri yang menyerang hatiku. Dalam sekejap itu pun mataku akan berkaca-kaca. Dadaku sesak dan oksigen yang kuhirup rasanya begitu lama sampai ke paru-paru. Seperti saat ini misalnya. Entah mengapa ini membuatku begitu terpukul. Ucapan adikku Lea benar-benar menggores hati, meski kutahu perkataan itu hanya sebuah ucapan yang meluncur dari bibir seorang anak kecil yang belum mengerti sedikit pun apa itu hidup. Bahkan kata-kata itu keluar begitu saja, bisa saja tidak ada maksud untuk melukai perasaanku. Tapi aku tidak tahu pasti apakah yang dilontarkannya itu benar-benar mewakili apa yang dia rasakan.
“Kakak selalu dilebih-lebihkan oleh ibu, selalu dimanja, semua perlakuan ibu pada kakak benar-benar berbeda terhadapku, terhadap Kak Ai dan Bang Putra, bukankah kita sama-sama anak ibu, tetapi mengapa selalu dibeda-bedakan? Bahkan untuk secuil makanan pun terdapat perbedaan untuk kakak dan kami. “Begitu juga dengan ayah, mengapa ayah selalu saja menuruti apa permintaan kakak, baju, hp, ingin kuliah ayah juga menurutinya, padahal kakak tahu untuk biaya sekolah kami saja ayah sudah kewalahan memenuhinya, aku benar-benar iri pada kakak, bukan hanya iri tapi kadang aku benci juga.
“Tiap kali aku meminta sesuatu pada ayah, ayah selalu berkilah. ‘Tunggu dulu, uang yang ayah punya yang sedikit ini untuk kakakmu, besok mau dikirim, uang jajannya sudah habis’ itulah yang selalu dilontarkan ayah padaku. Mengapa kakak menjadi seseorang yang begitu dipedulikan, aku benar-benar heran, bukankah aku ini anak ayah juga.“
Entah apa lagi yang diucapkannya, aku tak bisa merekam semua perkataannya. Memang kuakui, dari ketiga adikku dialah yang selalu berkomentar, dia selalu memprotes jika sesuatu itu tidak sesuai dengan keinginannya. Tapi entah mengapa aku tidak pernah bisa memarahinya, entah karena dia putri bungsu di rumah kami aku juga tidak tahu atau aku memang begitu menyayanginya meski kadang ada banyak perkataan yang membuatku jenuh dan merasa tersinggung, tapi bagaimana pun juga sepenuhnya dia adalah adikku.
“Jika kakak pulang jangan lupa belikan untukku sepatu olahraga seperti yang dipakai Maulida di Hardiknas kemarin,“ itu pesannya jika aku pulang kampung di sela libur kuliah. Tapi bagaimana mungkin aku bisa tahu sepatu olahraga yang dipakai Maulida temannya itu, aku tidak pernah melihatnya sama sekali, bukan hanya itu, uang yang kumiliki juga terbatas hanya cukup untuk ongkos pulang saja. Lagi pula aku di kota kecil ini sedang kuliah, bukan bekerja. Tapi bagaimana aku bisa mengatakan tidak bisa membawakan untuknya, kemarahan dan kebenciannya akan semakin menjadi-jadi, meski di sela waktu libur ketika aku pulang dia begitu manja padaku, dia manja padaku dan juga memanjakanku semampu kekanak-kanakannya.
Dan ini yang selalu menjadi sebuah perhatian yang lebih bagiku untuknya. Entah bagaimana watak adikku yang satu ini. Muka masam tidak segan-segan ia nampakkan kalau saja ada sesuatu yang diberikan ibu padaku, namun tak jarang pula ia akan berteriak memanggilku dan mencariku ketika aku tak di rumah di saat ia pulang sekolah, pulang bermain, atau pulang dari mana saja. Dan lebih mengherankan lagi ia akan lebih kehilanganku ketimbang ibu jika kami tak ada di rumah.
Aku membuka dompet, kulihat uangku yang tersisa hanya satu lembar lima puluh ribu, dua lembar sepuluh ribu dan lima lembar lima ribuan, kepalaku pusing bukan main, bagaimana mungkin aku bisa memenuhi permintaannya, tentu saja tak cukup untuk membeli sepasang sepatu olahraga, bahkan untuk ongkos pulangku saja pas-pasan, hanya bersisa beberapa puluh ribu saja, itu pun sudah dihitung tanpa makan di jalan.
Oh Tuhan, bibirku bergetar untuk mengatakan ini padanya. Tak mungkin juga aku meminta kembali pada ayah. Baru kemarin ayah bercerita tentang kesulitan keuangan saat ini, aku menggeleng, dan tersenyum bodoh. Mengapa hidup begitu susah? Harga sepatu olahraga yang tak sampai seratus ribu saja pun tak mampu kubeli untuknya.
Akh, kembali melayang pikiranku tentang kata-kata yang pernah diucapkannya, tentang perbedaan perlakuan ibu. Itu sepenuhnya tidak benar, mana ada seorang ibu yang mendiskriminasi anaknya sendiri, tapi itulah yang ada di pikiran seorang Lea Febi.
Bukankah aku jarang di rumah? Dan ketika aku pulang jika ibu memberikan perhatian lebih kupikir itu wajar-wajar saja, mengenai permintaanku yang selalu dipenuhi ayah itu juga tidak benar sepenuhnya, aku tidak pernah meminta ini itu, minta baju, apalagi hp, dari bibirku ini aku tidak pernah merengek meminta apa pun pada ayah, kecuali tangisku meledak ketika ayah mengatakan untuk tidak mau menguliahkanku. Hanya ini yang kuingat aku begitu mendesak ayah hingga menangis sesenggukan sampai ayah mengatakan ”Baiklah, tapi dengan satu syarat, mau bersakit-sakit dan jangan suka menoleh ke atas.”
Dan mengenai hp yang dimaksud adikku Lea, aku sama sekali tidak pernah memintanya pada ayah, aku bahkan heran ketika ayah memberikannya padaku. Ayah bilang itu hanya sebagai jaga-jaga, agar komunikasi tetap terjaga “Jika kau jauh di sana, ketika kau sakit, atau kau butuh uang karena jajanmu habis kau tentu memerlukannya untuk mengabari kami,” begitu kata ayah. Tapi sebaliknya, bahkan ketika uangku tinggal delapan ribu rupiah lagi pun aku tak memberi tahu ayah, aku memilih jalan kaki ke kampus meski betisku sedikit pegal dan nafasku terengah juga sampai di kampus. Bahkan aku membawa air minum dan kadang bontot juga untuk menghemat, ketika kawan-kawan mengajakku ke kantin aku selalu menolak dengan berbagai alasan, masih kenyang, mau baca buku dan entah alasan apa lagi.
Apalagi mengenai sakit, sedikit pun aku tidak ingin mengkhawatirkan ibu, meski berbagai penyakit menyerangku, demam, pilek, maag, atau kepalaku yang sering kambuh jika banyak aktivitas yang kulakukan aku tidak akan memberitahukannya pada ibu. Meski sudah begini, adikku Lea masih saja berkata “Kakak hidup bersenang-senang dengan uang pemberian ayah, sedangkan kami di sini untuk membayar uang LKS saja susah, ayah selalu memarahiku ketika aku memintanya.“
Oooh, rasanya sakit. Bagaimana mungkin aku menceritakan rasa sakit yang kualami di sini pada adik kecilku itu, kejujurannya akan mengoyak-ngoyak hati ibu. Apa yang kukatakan itu pulalah yang akan diterjemahkannya pada ibu. Semua jadi serba salah.
“Aku tak akan mencakapinya jika ia pulang, aku tak butuh kakak yang pelit sepertinya, jika baju sekolahku tak dibelikannya aku tak akan mencakapinya sampai di sini,“ kata-kata ini pun pernah diucapkannya. Seperti itu yang disampaikannya pada adikku Ai dan Ai pun menyampaikannya padaku.
Hhuuufff, aku mengurungkan niat untuk membeli sepatu demi memenuhi keinginannya. Padahal sepatu yang kupakai ke kampus sudah layak diganti, tapaknya sudah tipis sekali, jika hujan turun tak hayal lagi telapak kakiku yang berlindung di sepatu itu pun akhirnya basah juga. Oh Tuhan. Aku menyayangi Febi dan tidak ingin menyakiti hatinya.
Melalui proses tawar menawar akhirnya aku membelikan baju sekolah yang diinginkannya, benar saja, dugaanku tak meleset. Setibanya di rumah waktu libur semester lalu, ketika ia berhasil menemukannya dengan mencakar-cakar isi tasku, sontak saja ia memeluk dan menciumku, “Aku sayang kakak,“ bisiknya. Ah, adikku Lea, mengapa begitu sulit memahami hati seorang anak kecil.
Bahkan sampai detik ini pun perkataannya masih belum bisa kucampakkan ke kolong jembatan yang saat ini ada tepat di bawah kakiku. Tanganku menekan sisi beton bangunan jembatan ini. Mataku menekur menatap jauh ke sungai di bawah sana. Ada banyak juga aktivitas manusia yang kuperhatikan. Tapi tetap saja kesibukanku menatap manusia-manusia itu tidak bisa menghilangkan permintaan Lea dari benakku. Sepatu olahraga.
Aku melirik jam tanganku , pukul 17. 15 WIB, dan rencana besok aku akan berangkat pulang. Aku masih berfikir keras bagaimana caranya mendapatkan uang setidaknya lima puluh ribu lagi agar aku bisa memenuhi keinginannya. Sampai sakit kepalaku aku tak menemukan ide sedikit pun, yang ada dalam pikiranku hanya meminjam uang.
Akh, yang satu ini sangat sulit untuk kulakukan, karena yang ada dalam pikiranku jika aku meminjam uang tentu saja ketika aku punya uang aku harus membayar hutang, hitungannya sama saja aku tak akan punya uang lagi. Cari kerjaan, ini lebih sulit lagi, tak ada satu toko pun yang mau mempekerjakan mahasiswa di kota kecil ini. Entah apa alasan mereka aku juga tidak tahu, dan tak ada juga niatku untuk mencari tahu hal itu. Tapi saat ini yang benar-benar memenuhi kepalaku adalah sepatu olahraga permintaan Lea.
Aku memutuskan untuk kembali ke kos saja, jalan kaki lagi. Sambil menikmati suasana kota menjelang senja tiba, begitu pikiranku, sepanjang trotoar aku menyaksikan banyak tingkah dan ulah manusia, mulai dari hal yang membuatku tertawa, merasa muak, trenyuh dan ada juga yang menyedihkan. Menatap kelakar anak kecil dengan bola di tangannya, aku jadi tertawa, ”Jika ingin bertemu Adam main bola di jalan ini saja,“ begitu perkataan dari salah satu mereka, mendengarnya aku jadi tertawa geli. Menyaksikan pengendara melintas seenaknya hatiku muak bukan main.
Pemandangan yang benar-benar menjengahkan. Namun hatiku miris ketika menyaksikan seorang bapak tua yang sedang menjajakan dagangannya. Pikiranku langsung terbang kepada ayah, meski tak sama persis pekerjaan mereka tapi aku trenyuh juga. Ayah seperti bapak tua itu, berjuang di bawah terik matahari demi impian anak-anaknya, demi impianku, si Linda yang tak tahu diuntung ini. Aku mengusap wajahku agar bayangan ayah menghilang dari pelupukku. Pikiranku jadi kacau balau. Sepatu olahraga Lea dan bayangan ayah benar-benar melelahkanku. Setibanya di kos aku langsung tergeletak di kamar tanpa mendengar sesuatu apa pun. Hening.
“Lindaaa.., Linda,” sayup-sayup aku mendengar suara ibu kos memanggilku. Astaga, sudah pukul tujuh malam rupanya. Bergegas aku menemui beliau.
“Iya, Bu,” ucapku.
“Kau tidak sholat?” aku menggeleng.
Beliau mengangguk mengerti tanpa kuberi tahu. Akh, ibu kosku, beliau begitu memperhatikan kami, selalu mengingatkan jika waktu sholat tiba.
Mida memanggilku, “Ada Kak Lisa di depan, nyariin kamu,“ ucapnya.
“Hha, Kak Lisa? Ada apa?“ bathinku. Aku bergegas ke depan untuk menemuinya, tetangga kami di kos ini, Kak Lisa yang baik dan tidak pelit dengan segala kecantikannya, aku menyebutnya seperti itu.
“Kakak mencari saya? tanyaku padanya.
“Oh, iya, Lin, bisa bantuin kakak, mmm..tolong setrikain baju kakak dong, nggak sempat kakak, baju Fida belum disetrika untuk dipakainya besok ke sekolah, kakak ini baru pulang dari toko, kecapek’an kakak Lin,
tolong ya..!!“ ucapnya padaku. Aku mengangguk perlahan, meski kuakui aku capek juga dengan segala aktivitasku hari ini, pikiranku pun lebih capek lagi.
“Bismillahirrohmanirrahim,“ bisikku memulai pekerjaan mudah ini, pikiranku pun melayang pada sepatu olahraga yang diminta Lea.
*****
Rona jingga mentari sore mengambang di wajahku, muka lesu karena kelelahan di perjalanan bercampur baur di mataku. Aku mengetuk pintu rumah. Lea, dia orang pertama yang menyambutku, dengan senyum nakalnya ia langsung menarik tas punggungku.
“Mana sepatunya?“ ucapnya sambil mencakar isi tasku itu. Ibu menggeleng melihat tingkahnya, Ai mencibir ke arahnya, sedangkan Putra mencubit pipinya dan berlalu meninggalkan kami.
“Aku lanjut kerja ya,“ ucapnya sambil memelukku. Aku mengangguk iba, rasa bersalah selalu menggerogotiku.
“Tidak apa-apa jika aku tidak kuliah, yang penting kakak bisa menggapai impian kakak,“ itu yang dikatakannya ketika ia lulus Aliyah beberapa waktu lalu.
Aku menatap ibu dengan raut wajah ingin bertanya, tapi sebelum pertanyaanku muncul ibu malah lebih dulu menjawabku “Ayah masih belum pulang,“ ucap beliau. Aku tersenyum, “Hati seorang Ibu“ bisikku, bisa memahami hal yang tersirat dari raut wajah anak-anaknya.
“Aaaaawww…“ aku meringis kesakitan tatkala kaki Lea menyentuh tanganku yang kusenderkan di lantai. Ia menatapku heran.
“Kenapa tangan Kakak melepuh begini?“ ucapnya sembari mengangkat tanganku itu.
Ibu pun mendekatiku, “Kenapa ini? tanya beliau.
Aku menarik tanganku dari genggaman Lea, Tidak apa-apa,“ aku menjawab dengan senyum yang sumringah.
Tak mungkin kukatakan demi sepatu olahraganya tanganku melepuh karena kurang hati-hati menyetrika pakaian Kak Lisa, ibu pasti akan memarahiku dengan berbagai alasannya.
“Mmmm. Sepatunya sudah kau temukan?“ Tanyaku pada Lea mencoba mengalihkan pembicaraan, sontak ia memelukku, “Makasih kakakku sayang,“ seketika itu juga bibirnya mendarat di keningku. Aku menahan air mata, bukan karena menahan sakit di tanganku, tapi hatiku girang melihatnya bahagia. Adik kecilku itu, dengan segala kekanak-kanakannya entah mengapa ia menjadi begitu mengagumkan bagiku. Kusaring kata-kata ketusnya yang sering membuatku tersinggung, “Waktulah yang akan mendewasakannya,“ bathinku. Tanganku mengusap punggungnya yang masih erat dalam pelukku. Benar-benar bahagia kurasakan ketika aku mampu membuatnya tertawa meski sebenarnya untuk menebus tawa kecilnya itu aku harus melukai diriku sendiri.
“Aaawwww, tangan kakak benar-benar sakit,“ ledekku lalu melepas pelukannya, wajah cemberutnya kembali beraksi, dengan geram ia menekan tangan sakitku lalu kabur dan mencibir ke arahku. Aku tersenyum melihat tingkahnya. Embun sore menetes di langit-langit rumah. “Sepenuhnya aku menyayangi kalian semua.“ Lirihku, saat kutatap wajah Ai juga ikut tersenyum menyaksikan pemandangan rumah sore ini.
~Tamat~
*****Saat ini Lea Febi tumbuh menjadi gadis remaja yang baik hati dan baru saja memulai tahun pertama kuliahnya.
Penulis : Risna Yanti Ita
Editor : Alqaf
Cover : Photo Pribadi/CopyNet-Photo Editor.