Menu

Mode Gelap

Cerpen

Elegi di Ujung Desember


					Elegi di Ujung Desember Perbesar

Elegi di Ujung Desember

**************************

“Selalu ada, yang bernyanyi dan berelegi, di balik awan hitam”

     Untuk pertama kali, bait lagu dari band Fourtwnty itu menarikan bening di pipiku. Kali ini, hujan di bulan desember bukan lagi hal yang menyenangkan seperti tahun-tahun sebelumnya. Desember adalah penantian, hujan yang menjatuh di penghujung tahun adalah hal yang paling aku nanti, entah mengapa, serasa ada yang menyusup indah ke sanubari ketika butiran air itu membasah raga. Aku suka hujan di bulan desember, begitu seharusnya, begitu setiap tahunnya, tapi tidak untuk kali ini.

*****

    Aku pulang, menapaki jalanan kering berdebu, menghirup aroma hijau daun mahoni, menatap debur ombak yang berkejar-kejaran, menyaksikan lambaian nyiur yang melagukan kedamaian. Sudah saatnya pulang setelah enam bulan berkutat dengan setumpuk buku-buku dan kertas-kertas tebal berjilid.

Kali ini aku pulang, menghempaskan lelah dan kekesalan. Sebab sudah jalan enam bulan aku masih belum mampu meyelesaikan revisi skripsi yang masih saja terus disalahkan. Aku tidak tahu, entah aku yang bodoh atau memang dosen pembimbing duda ganteng yang kaya itu menginginkanku berlama-lama di kampus itu.

Aku memutuskan pulang. Setelah debat tak bermutu antara aku dan Faisal, lelaki hebat, begitu aku menyebutnya, lelaki yang selalu setia berdampingan ke manapun aku pergi, lelaki yang disebut-sebut sebagai pacarku namun aku memilih tetap bertahan menjadi temannya. Setelah debat tak bermutu di antara kami terjadi, aku memutuskan pulang. Mendadak saja.

Pukul 5 sore di kampus hijau. Aku menghempaskan jilid skripsi yang berada dalam genggamanku. Di sudut kampus di taman kecil itu, aku berteriak kesal. Setelah lembar-lembar itu berserakan, aku meninjukan tanganku ke lantai bangku yang kududuki. Tidak ada yang sakit kala itu. Benar kata ibu, seseorang yang pikirannya kacau balau, ia tak akan merasa sakit di badannya meski pisau sudah merajam lelah.

Aku kesal, hari itu setelah menemui dosen pembimbing satu, aku tidak memperoleh hasil apa pun, ia melemparkan skripsiku begitu saja. Katanya, hitungan hasil dari penelitianku masih sangat berantakan. Aku memohon agar diberi kesempatan untuk memperbaikinya sebentar saja. Tapi ia bilang, “Temui saya bulan depan,”. Tanpa memberi alasan apa pun ia meninggalkanku di ruangan itu.

Aku berlari mengejarnya, memohon agar diberi kesempatan untuk memperbaiki kesalahan yang sedikit itu dalam waktu satu jam. Tapi ia malah mempermalukanku di hadapan mahasiswa lainnya.

Aku menelan ludah getir menatap punggungnya yang menghilang dari pandangan mata. Mukaku kututup dengan lembaran yang kugenggam. Aku berlari ke taman kampus. Rasa kesal campur malu menertawakanku. Aku melemparkan kertas-kertas itu. Tanganku sudah mengelupas berkat bentrokan yang kuhantamkan ke lantai bangku.

“Jangan menyiksa diri sendiri,” suara Faisal yang sering kupanggil Fais menghampiri telingaku. Ia mengutipi kertas-kertas yang berserakan di rumput taman lalu meletakkannya di sampingku. Ia juga ikut duduk di sampingku.

Aku menatapnya lirih, rasanya aku ingin menghambur ke pelukannya, tapi baju yang kukenakan menahanku untuk itu.

“Pak Rinal memang demikian adanya, Rat, tidak ada toleransi ataupun dispensasi, jika iya, ya iya, kalau tidak, ya tidak. Ia tidak suka memanjakan mahasisiwanya.”

Aku menghela nafas, menatapnya dalam. “Pak Rinal itu manusia bukan sih? Aku bimbingan sudah 4 bulan tapi sampai hari ini masih belum kelar-kelar. Kayaknya Pak Rinal sengaja mengulur-ulur waktu. Pak Rinal pernah mikir nggak sih gimana susahnya ngerjain ini semua. Masa cuma salah satu angka aja aku nggak diberi kesempatan untuk memperbaiki bentaaarrr aja. Kasih kesempatan satu jam untuk merevisi itu, aku pasti bisa selesaiin. Kalau ini kelar, aku bisa sidang minggu depan.”

“Nggak semudah itu, Rat, Pak Rinal itu killer banget. Aku udah ingetin kamu dari awal, kan? Kalau bimbingan hati-hati dalam perhitungan, bagus dalam tulisan. Salah sedikit aja, ia akan suruh ganti semua. Lagian kamu juga sih, nggak hati-hati dalam perhitungan. Asal cepat selesai aja, kan?”

“Kok kamu malah nyalahin aku? Kamu nggak tahu gimana, kan, perasaan aku sekarang? Kamu, Mila, Feni dan yang lainnya sedang menikmati waktu santai karena skripsi kalian itu acc. Aku? Aku harus menunggu sampai kapan? Minggu depan kalian sidang, kan?”

“Rat,”

“Kamu juga nggak tau kan, Is, aku dimalu-maluin di depan mahasiswa lainnya, hanya karena aku minta tenggang waktu satu jam aja memperbaiki angka yang salah itu. Mungkin aku cuma salah ketik atau..”

“Rat, itu Pak Rinal, kamu ngajak Pak Rinal nego? Kamu salah b..”

“Kayaknya kamu senang ya aku gini terus, bimbingan, revisi, bimbingan, revisi.”

“Bukan gitu, Rat.”

Aku kembali melemparkan tumpukan kertas yang sudah dikutipinya itu. Aku meninggalkannya, entah mengapa aku melampiaskan kesal padanya yang tak bersalah..

Aku menghempaskan diri setelah tiba di kos. Selang waktu lima belas menit, aku menelpon penjaga loket angkutan umum yang biasa kutumpangi menuju Natal, kampung tercintaku. Aku memesan tiket untuk berangkat nanti malam. Tanpa memberi tahu Faisal aku mengemasi barang-barangku. Tepat pukul delapan malam aku berangkat pulang. Sekali lagi tanpa memberi tahu Faisal.

*****

Aku pulang, menapaki jalanan kering berdebu, menghirup aroma hijau daun mahoni, menatap debur ombak yang berkejar-kejaran, menyaksikan lambaian nyiur yang melagukan kedamaian. Sudah saatnya pulang setelah enam bulan berkutat dengan setumpuk buku-buku dan kertas-kertas tebal berjilid.

“Kamu pulang tanpa memberitahuku, Rat?”

Akh, chat Fais yang masuk tak kugubris, aku lebih peduli pada jingga yang akan mengelam di barat sana.

“Rat, kamu marah sama aku?”

Kesal mungkin, entah mengapa, kemarin di taman kampus aku mengharapkan pembelaan darinya, tapi ia malah terus membenarkan Pak Rinal.

“Demi kamu Rat, hari ini aku pulang. Aku belakangkan sidang minggu depan, aku tunggu sampai kamu selesai. Demi kamu, Rat, hari ini aku pulang, sekaligus menyambut hujan di penghujung desember, seperti tahun-tahun sebelumnya.”

Isi chat-nya kepanjangan, aku masih belum menggubris, meski aku mampu merasakan tulus dari setiap kalimatnya, tapi sepertinya kekesalanku pada Pak Rinal dan padanya yang ikut pula menyalahkan, belum hilang. Aku masih menyimpan kesal.

Aku tidak memikirkan pengorbanannya yang rela menunda waktu sidang demi bersamaku. Aku tidak memikirkan ketergesa-gesaannya yang mendadak pulang hari ini demi untuk tidak melewatkan momen hujan di penghujung tahun ini.

“Aku pulang ke pangkuanmu, Ratna Mita.”

Isi chat terakhirnya hanya sekedar membelalakkan mataku. Setelahnya menurunkan hujan yang tak reda jatuh menghujam dada.

*****

Medan-Natal.

     Tidak pernah kuperhitungkan durasi waktu yang ditempuh jika menaiki sepeda motor. Yang kutahu, aku disergap resah luar biasa jika duduk di dalam mobil selama perjalanan berlangsung. Aku sering marah pada supir jika melama-lamakan, namun untuk pulang dengan menaiki sepeda motor pun selalu aku hindari. Berbeda dengan Faisal, ia selalu naik motor pulang pergi Natal-Medan selama kami kuliah ini.

     Pun sama kali ini, ia pulang dengan menaiki sepeda motor kesayangannya. Perjalanan yang cukup melelahkan itu mengantarnya pulang, iya, pulang sekali. Setelah itu tak pergi lagi.

“Sudah bangun, Rat?” seumur hidup ini adalah pertanyaan aneh dari seorang ibu tiri yang tidak pernah aku pedulikan. Aku mengangguk saja.

“Mandilah, ada yang ingin mengajakmu keluar,” Tante Ami, ibu pengganti setelah mama pergi yang selalu dongkol dengan tingkah cuekku kali ini begitu peduli.

“Mama sudah masakin makanan kesukaan kamu,” ha, sampai hari ini aku masih belum sanggup memanggilnya mama.Masih dengan wajah tak peduli, aku melangkah ke halaman belakang, menggerak-gerakkan badan yang terasa sedikit pegal.

“Mandilah, Rat, ada yang ingin mengajakmu pergi.” Ucapnya lagi.

Dengan memperlihatkan muka dongkol aku berlari ke kamar, masuk mengambil handuk lalu menyergap diri di kamar mandi.

“Raaaaat,, udah belum mandinya?” teriakan Tante Ami semakin memburukkan hariku di pagi ini.

Aku keluar kamar dengan dandanan rapi, aku ingat, kemarin Fais memberi tahu ia pulang. Kulirik jam dinding, pukul sepuluh pagi. Ya, benar, hari ini aku benar-benar bangun kesiangan.

Seharusnya Fais sudah tiba di rumah, seperti biasa aku akan menyusulnya. Ya, meski kemarin aku masih mendengus kesal, tapi tidak untuk hari ini. Aku meraba kalender yang tergantung di dinding, kuperhatikan hari dan tanggal. “Benar ini tanggal 31?” bathinku sendiri, sepertinya minggu terakhir ini aku salah memperkirakan tanggal. Yang ada dalam pikiranku, hari ini tanggal 30, besok tanggal 31, dan biasanya hujan akan singgah meski sebentar di penghujung tahun ini, begitu selalu.

Tapi hari ini langit benar-benar cerah, seperti ada yang tidak senang di dalam dada. Menyadari hal ini, diam-diam aku merapal doa dalam hati.

“Benar nggak sih, Ma, hari ini tanggal 31?” Tante Ami menatapku, seperti ada yang membening di matanya.

“Ratna, kamu manggil mama dengan sebutan ‘mama’?” aku malah jadi salah tingkah menyadari hal itu. Aku juga tidak tahu kenapa tiba-tiba memanggilnya dengan sebutan itu.

“Ratna mau ke rumah Fais, ia pasti sudah tiba.” Itu saja yang kuucapkan.

“Ratna, tunggu.” Tante Ami mencegat langkahku. “Kamu belum makan, makan dulu,” bisiknya. Aku menggeleng. “Ratna, tunggu.” Ia diam, seperti sedang menyusun kata-kata. Aku kembali memperlihatkan muka kesal. “Di depan ada Vian, ia menjemput kamu, tapi mama ikut, ya?!”

Aku malah tertawa, “Tante ngapain ke rumah Fais? Bukannya selama ini Tante nggak suka ya aku bermain terus sama Fais, Tante nggak pengen labrak Fais, kan? Nggak bermaksud larang dia ngajak aku main hujan?”

“Papa kamu juga sudah di sana, Rat. Kita berangkat sama-sama, ya?”

Entah mengapa aku hanya mengangguk, pertanyaan yang kulontarkan, meski tanpa jawaban hanya membuatku mengiyakan keinginannya. Aku bahkan tak memikirkan kenapa papa ada di rumah Fais.

Kami berdua keluar. Di teras rumah ada Vian dan Rinata dengan sepeda motor mereka.

“Ayo,” ajak mereka. Aku mengikut saja menaiki motor Vian tanpa bertanya ada apa.

Motor melaju dari rumahku ke rumah Fais. Sepanjang perjalanan, Vian tak banyak bicara, seperti tahun-tahun sebelumnya, ia akan berceloteh tentang kamera yang ia pakai untuk mengabadikan momen hujan di penghujung tahun. Aku dan Fais yang akan menjadi modelnya, setelah itu ia post di akun sosmed dengan bahasa puitisnya yang tidak kumengerti.

Jalanan ramai, aku berpikir ini hanya karena libur panjang. Tapi tepat di halaman rumah Fais beribu pertanyaan menyergapku, ada apa dengan kursi-kursi dan keramaian orang yang berlalu lalang di depan rumah, ada apa dengan tulisan pelan-pelan ada kemalangan? turun dari motor, aku langsung menggenggam lengan Tante Ami, “Ma,” bisikku. Mataku menyiratkan pertanyaan ada apa? Ya, masih tanpa sadar untuk kedua kali aku memanggilnya, Ma.

“Kita masuk sayang,” suara Tante Ami lembut mengajak, ia membimbing tubuhku melangkah masuk, kakiku terasa berat untuk kuseret. “Ayo, ajaknya lagi.” Aku mengikut masih dengan menggenggem lengannya.

Di rumah itu, di ruang tamu, wajah-wajah yang kukenal sedang bersimbah air mata, salah satu dari mereka meratap menyebut nama Fais. Tuhan, aku sedang tidak bermimpi, kan?

“Ma,” bisikku lagi pada tante Ami. Tante Ami menatapku iba, sekarang aku tahu apa yang terjadi, aku sadar sekarang ada apa, aku tahu terjemahan dari air mata yang membasah di pipi mereka. “Ma,” suaraku tercekat. Bening-bening kristal di mataku mulai terbit. Tante Ami merangkulku, pandanganku gelap seriring dengan suara ambulan yang baru tiba memecah telinga.

*****

     Desember adalah penantian, hujan yang menjatuh di penghujung tahun adalah hal yang paling aku nanti, entah mengapa, serasa ada yang menyusup indah ke sanubari ketika butiran air itu membasah raga. Aku suka hujan di bulan desember, begitu seharusnya, begitu setiap tahunnya, tapi tidak untuk kali ini.

     Di sebuah pemakaman. Aku seperti baru bangun tidur dari sebuah mimpi buruk. Tumpukan tanah merah bertabur bunga itu masih basah. Hujan? Tidak. Tapi air mata orang-orang yang mencintainya menggenangkan perih luar biasa. Terutama aku. Ini sakit bukan lagi sekedar sakit, sesal bukan lagi sekedar sesal. Aku merutuk diri habis-habisan, menyumpahi ego yang menumbangkan.

Fais, ia pulang. Ya, pulang. Aku tidak tahu kronologis kejadian kecelakan. Yang kuingat ia pulang karena aku. Pemakaman sudah sepi, hanya ada aku dan Tante Ami yang bertahan menemani ratapku yang sudah tidak bersuara lagi.

“Kita pulang, sayang.” Suara lembut itu tiba-tiba persis bak suara mama. Aku menoleh, mataku masih belum berhenti menumpahkan butiran bening.

“Demi kamu Rat, hari ini aku pulang. Aku belakangkan sidang minggu depan, aku tunggu sampai kamu selesai. Demi kamu, Rat, hari ini aku pulang, sekaligus menyambut hujan di penghujung desember, seperti tahun-tahun sebelumnya. Aku pulang ke pangkuanmu, Ratna Mita.”

Hujan di mataku menderas, aku tergugu di sisi makamnya.

***************

Penulis : Risna Yanti Ita
Editor : Alqaf
Gambar : Koleksi Pribadi/ Net-Photo Editor/ blur

Facebook Comments Box
Artikel ini telah dibaca 52 kali

badge-check

Writer

Baca Lainnya

Usai Dari Padang Laru, Alat Berat PUPR Bertolak Membersihkan Longsoran di Ruas Aek Mata 

15 Oktober 2024 - 08:07

Cawabup Atika Bawa Warga Sopobatu Berobat ke RSUD Panyabungan

14 Oktober 2024 - 20:21

Komunitas Alumni Pola Pertolongan Allah Madina Hadirkan Ust Angga dari Jakarta 

14 Oktober 2024 - 18:29

PUPR Madina Bersihkan Longsoran di Jalan Panyabungan Timur, Warga Ucapkan Terimakasih 

14 Oktober 2024 - 15:13

Orangtua Siswa Minta Polisi Tidur Dibangun di Depan SDN 081 Panyabungan 

14 Oktober 2024 - 10:04

Dimata Warga Madina, Cabup Saipullah Sosok Relijius Dekat Dengan Anak Yatim

13 Oktober 2024 - 20:22

Trending di Berita Daerah