Menu

Mode Gelap

Cerpen

Oh My Oppa


					Oh My Oppa Perbesar

Oh My Oppa
Oleh : Risna Yanti Ita

Tiap kali bersamanya aku selalu tertawa. Mendung di wajahku seketika berubah cerah. Tak bisa kupungkiri juga, meski sering dibuatnya kesal namun selalu ada senyum di wajahku tiap kali mengingatnya.

“Buuukk..!!!“
Aku meringis kesakitan. Lalu mengelus jidatku yang terbentur pintu. Semua mata tertuju padaku. Lila menggeleng, di sudut ruangan kulihat Oppa mencibirku. Aku memonyongkan mulut dan menyipitkan mata, kesal.

“Ho, oppa..!!!“ ucapku menunjuknya.
“Oppa????“ ucap seisi kelas bersamaan. Heran, dengan nada bertanya.
“Uuups!!“ aku menutup mulut dan segera mengambil kursi.
“Apa kau mengajak kakekmu kesini?“ tanya Fery padaku.
“Iya, di tasku.“
“Aku yakin kau masih bermimpi.“
Aku mengangkat bahu menanggapi.

“Oh my God, tugasku ???!!!“ ucapku dengan suara lantang. Lagi-lagi Lila menggeleng. Selalu protes dengan nada melengkingku. Tanpa peduli tanganku sibuk mengincar isi tas. Tak kutemukan sinopsis novel yang kukerjakan tadi malam. Tugas dari dosen yang paling kutakuti, Bu Diana, Dosen Mata Kuliah Prosa, Fiksi dan Drama. Aku menoleh ke sudut kelas, kulihat Oppa sibuk memainkan jemarinya di layar hape .

Meski tak gatal, aku terus menggaruk kepala. Kaki perlahan kulangkahkan. Mendekatinya.
“Aku tak bisa menemanimu pulang, sudah tak ada waktu lagi.“
Dia bicara sebelum aku memulai percakapan.
“Sebentar saja.“ aku mulai memelas. Ia menggeleng dan mengarahkan tangannya ke depan pintu masuk kelas.

Aku ternganga melihat siapa yang datang. Oh My God. Bu Diana sudah datang. Alasan apa yang akan kukatakan. Lupa? Ketinggalan? Atau apa??? Aku duduk resah dengan hati tak karuan. Bisa jadi aku dikeluarkan jam mata kuliah ini.

“Silahkan kumpul tugas kalian, segera akan dipersentasikan. Bagi nama yang saya panggil silahkan persentasikan isi novel yang kalian rangkum.“

Oppa tertawa mencemooh padaku.

“Selamat menerima hukuman, ini tugas pribadi, Bu Dian bilang nilai ujian ditentukan oleh tugas ini. Mmmm, apa jadinya jika Fanni si pecinta novel menerima KHS tanpa nilai mata kuliah Prosa, Fiksi dan Drama, hhaaaaa… aku yakin, ini kelas akan banjir dengan air mata. Hhuhuhuu.” ucapnya meledek dan mencemoohku. Aku langsung melayangkan jemariku ke lengannya.

“Seharusnya kau membantuku memberi solusi, bukan mengejekku seperti ini. Benar-benar Oppa yang tidak berguna.“ ucapku kesal padanya.
“What? Oppa? Aku yakin kau pasti nonton drama korea sampai larut malam, bangun kesiangan sampai lupa bawa tugas. Selamat menerima hukuman Fanni sayang, kau memang adik yang tidak bisa bertanggung jawab terhadap dirimu sendiri.

“ ia tertawa sambil mengelus kepalaku.
“Dasar laki-laki sok dewasa. Adik? Sejak kapan aku jadi adikmu?”
“Sejak kau memanggilku Oppa?” jawabnya sambil berlalu mengantar tugasnya ke depan.
*****

“Oppa?“ Ia menoleh ke sekitar ketika kuucapkan kata itu.
“Mana? Siapa yang kau panggil?
Aku memukul bahunya. “Kau..!! Mulai hari ini aku akan memanggilmu oppa.

Eeehh, no comment, nggak boleh komentar.“ ucapku ingin menang.
“Apa aku seperti kakek-kakek? Sampai-sampai kau ingin memanggilku oppa. Nggak..nggak.., nggak boleh.“
“ Hhhmmm,” aku menghela nafas panjang. “Kolot banget, kaya nggak pernah nonton tivi aja, Oppa itu panggilan perempuan pada lelaki yang lebih tua, kalau di Korea.“ aku menjelaskan.
“Tapi kita di Indonesia,“ kilahnya.
“Oppaaaa, aku hanya ingin memanggilmu dengan sebutan itu, nggak minta bayaran, masa nggak boleh.“
“Yuupp, tetap aja nggak boleh. Secara, aku kan Indonesia banget. Apaaan kayak gituan? Pokoknya tetap nggak boleh.“ ia tetap membantah.
“Bodoh amat, pokoknya ni ye, mulai hari ini aku manggil kamu oppa. Titik nggak pakek koma.” ucapku memenangkan diri tanpa peduli dengan ketidaksetujuannya.
“Bye..bye..oppa. sampai ketemu besok.“ aku berlalu meninggalkannya yang masih kebingungan.

*****
Namanya Ifan. Aku memanggilnya oppa sejak aku terobsesi pada aktor idolaku Lie Min Ho. Sosok pria tampan itu, Oppa Min Hoo selalu menyedot perhatianku, aku bahkan tak peduli meski telpon berdering saat aku sedang menikmati peran yang dimainkannya di layar kaca. “Jangan ganggu aku, aku lagi nonton Oppa-ku,“ ucapku pada mereka ketika aku sedang menatapnya di layar kaca. Lila dan adik-adik kosku hanya tersenyum kecut menanggapi.

Sebenarnya tidak ada mirip-miripnya mereka berdua. Oppa Min Ho dan Oppa Ifan, 360 derajat perbedaan. Sama tinggi juga tidak. Tapi kunikmati saja panggilan itu padanya. Meski banyak yang memprotesku dengan berbagai alasan.
“Hhaa, Oppa..“, tanganku langsung menyentuh simbol hijau ketika nama Ifan muncul di layar ponsel.
“Oppa,“ ucapku menjawab telponnya.
“Sudah kubilang jangan panggil aku oppa, aku bukan kakekmu,“ ia berteriak dari sebrang sana.
“Bodoh amat!!“ aku pun tak mau kalah.
Dia mematikan telpon tanpa mengucap salam. Mungkin kesal, lagi-lagi aku memanggilnya dengan sebutan yang tidak disukainya.

Esoknya di kampus, setelah mengantar tugasku yang ketinggalan kemarin aku langsung menemuinya. Aku sedang bernasib baik, dapat dispensasi dari Bu Dian. Langkahku berhenti ketika kulihat ia tersenyum ria bersama wanita yang selalu buang muka tiap kali bertemu denganku. Aku mengalihkan pandangan pura-pura tidak melihatnya.
“Fanni…!!!“ teriaknya padaku.
Aku menoleh dan spontan mengucapkan kata “Haa, ya Oppa.“ Semua melihat ke arahku. ia hanya tertunduk malu. Malu karena aku memanggilnya oppa. Heran, dia tidak protes meski wajahnya bersemu merah. Aku pun hanya meminta maaf dalam hati.

Ia berjalan ke arahku dan meninggalkan Aulia yang terus memandanginya. “Maaf, oppa.“ ucapku terbata. Riang hatiku langsung berubah tiap kali kulihat kebersamaannya dengan Lia.
“Ayoo..!!” tangannya menarikku menuju ruangan.
Kakiku melangkah gontai, sebab ia menelponku tadi malam tak kutanyakan lagi.

“Coklat?“ ucapnya seraya menyodorkan sebungkus beng-beng ke arahku. Aku tersenyum dan menerimanya.

“Kamu tau nggak Fan, tadi malam itu, bla…bla..bla..“ ia bercerita panjang lebar tentang apa saja dan aku terkekeh mendengarnya. Dia memang hebat, dia pintar mencairkan suasana. Tiap kali bersamanya aku selalu tertawa. Mendung di wajahku seketika berubah cerah. Tak bisa kupungkiri juga, meski sering dibuatnya kesal namun selalu ada senyum di wajahku tiap kali mengingatnya.

*****
“Ifaaaan… tunggu..!!“ aku berteriak ketika melihatnya sudah di gerbang kampus.
“Panggil aku abang, aku lebih tua darimu.“ ia menepuk jidatku ketika tiba di hadapannya.
“Awww..” aku kaget dan spontan jemariku mencubit lengannya.
“Hanya beberapa bulan, sok dewasa deh.“
“Tetap aja lebih tua.“
“Mmmm, kalo begitu aku panggil oppa saja.“
“Aku sudah bilang jangan panggil aku oppa.“
“Ooooh, maunya dipanggil abang? Iiihh, risih banget.“
“Bandel ya??” lagi-lagi tangannya mendarat di keningku.
Aku tersenyum, lagi-lagi hatiku bahagia menikmati kebersamaan itu dengannya.

Entah dimulai dari mana kedekatan itu. Aku terbiasa dengannya, jika dalam satu hari tak ada kabar darinya, aku sepi. Tak jarang pula banyak tanggapan dari teman sekampus, aku dengannya berpacaran. Kami hanya tersenyum menanggapi tuduhan mereka. “Aku dengannya pacaran sejak dari dalam kandungan,“ kadang aku menjawab pertanyaan teman yang resek dengan jawaban seperti itu ketika mereka mengintrogasi tentang kedekatan kami.

“Kita kayak artis ya Fan, baru akrab gini aja udah digosipin,“ pernah juga dia berkata seperti itu padaku. Aku hanya tersenyum lalu menanggapi “artisnya tuh kamu, aku mah cuma gadis biasa.“
“Idiiih, lebaiiy dech,“ tangannya mulai mengacak-acak rambutku menanggapi perkataan bodohku itu.

“Oppa, kok nggak ngajak-ngajak,“ langsung kupukul punggungnya ketika aku mendapatinya duduk di sudut kantin. Selesai mata kuliah aku bahkan tak melihatnya keluar. Dia hanya menggaruk-garuk pelipisnya. Tidak berkomentar.
“Ifan, udah lama??“ seseorang menyapanya. Aku menoleh ke belakang. Aulia. Aku tersenyum padanya lalu langsung membuang pandanganku ke etalase.

“Belum, duduk??! “ ucapnya pada Lia.
Hhaaa, aku saja yang dari tadi berdiri di sini tidak ditawari duduk. Oke !! aku jadi sadar diri. Sambil melirik Lia aku membalikkan badan. Kalau makhluk yang jatuh cinta itu bisa lupa segalanya. Lupa siapa yang lebih dekat dengannya dan lupa siapa yang paling peduli padanya.

“Kok pigi Fan? Gabung di sini aja.“
“Mmm, basa-basi udah basi,“ bisikku dalam hati. “Nggak akh, aku juga ada janji sama Leo,“ alasanku menghindari mereka.
“Leo ?“ nada mencemoohnya keluar mendengar nama itu kusebut.
“Yaa.“ ucapku masih membelakangi mereka. Tak kudengar lagi komentarnya.

Di perpustakaan aku melarikan kegalauanku. Entah mengapa tidak senang jika melihat kedekatan mereka. Lebih tidak senang lagi ketika bertemu dengan Lia yang selalu buang muka padaku. Meski aku terus tersenyum tiap kali berpapasan dengannya.
*****
“Janjian ke mana dengan Leo?“
Pertanyaannya mengagetkanku pagi ini.
“Kok baru nanya sekarang?“
“Baru ingat.“
Aku mencibir. “Pasti sibuk banget ya ma gebetan barunya, atau udah jadian kali ya??“
“Pooookk.,“ lagi-lagi tangan kekarnya menepuk jidatku.
“Aawwww, sakit tau.“ aku meringis kesakitan.
“Sok tau deh.“
“Siapa tau aja benar, kan bisa ngajak makan, ngerayain maksudnya.“ ucapku menanggapi. Yaaa, padahal ada rasa tidak senang di hatiku jika menyinggung tentang itu.
“Menurut kamu dia baik nggak?”
“Mmmm, baik. Baik banget. Cantik juga pintar. Cocok buat kamu.“
Kujawab apa adanya pertanyaan itu. Memang kenyataannya seperti itu. Aku melihatnya baik, meski ia selalu buang muka padaku. Dia juga cantik, pintar juga.
“Hhhaaa, butuh waktu mendalami karakternya.“ ia mendesah mengatakan kalimat itu.
“Oppa masih ragu?“
Dia mengangguk.

“Tapi nggak marah lagi kan aku panggil oppa?”
“Hhahaaak,“ dia tertawa terbahak mendengar celotehku. Kali ini hidungku yang menjadi sasarannya. Aku ikut terkekeh meski hidungku terasa sakit. Dia, yang kupanggil dengan sebutan oppa tak lagi memprotes ketika aku memanggilnya dengan sebutan itu.

“Aku nggak suka kamu dekat-dekat sama Leo, jangan dekat-dekat sama dialah.“ Tawaku berhenti ketika kudengar ucapannya.
“Emang kenapa? Pake larang-larang segala. Emang Leo penjahat? Busyeeet deh oppa. Biasa aja.“
“Kamu tuh ngeyel ya, dibilangin malah membantah.“
Lagi-lagi aku mengajaknya bercanda.
“Aku ngomong serius Fanni, kamu tuh ya kalo diajak serius bawaannya becanda terus. Diajak becanda malah serius. Heran deh.“

Nada bicaranya tidak seperti biasanya.
“Oppaaaaa…” nada merengek kembali kuluncurkan.
Untuk pertama kalinya aku tak sanggup menatapnya seperti ini.
“Ooooppaaaa….??!!“
“Aaakkkh,, jangan merengek seperti itu..” tangannya segera menerkam hidungku. Aku menampisnya. Ia tersenyum.
“Jelek..“ ucapnya seraya mengacak-ngacak rambutku.
“Jangan menjauhiku lagi meski aku mendekati Lia.“ sambungnya.
“Hhaaa?” untuk kedua kalinya aku ternganga. Heran.
“Kekhawatiranku padamu karena aku menyayangimu, adik.“
“Oppaaaaa…???!!!”

Mataku berkaca-kaca. Aku menelan sesuatu padahal sama sekali aku tidak sedang makan. Aku merasa tersanjung karena diperhatikan seperti ini namun di sisi lain hatiku tercekat mendengar ia memanggilku adik.
“Entah.“ ucapku datar.
“Entah?“
“Ya, entah.“ ucapku sekali lagi
“Kenapa dengan entah?? Ayoo!!! “ tangannya menarikku keluar ruangan tanpa begitu peduli dengan pertanyaannya dan dengan apa yang kusebut tentang entah.

Aku menghela nafas panjang, kembali mengatur pernafasanku. “Entah ini cinta atau persahabatan yang jelas aku menyayangimu, sejak lama.“ bisikku dalam hati sambil melangkah mengikutinya. Kakiku bergerak bersama hatiku yang mencoba menata namanya di sudut mana akan kuletakkan. Di sudut seseorang yang kuanggap sebagai kakak, sahabat atau cinta. Punggung besarnya menghalangi pandanganku menuju jalan. Aku tertatih namun senyumku merias sisi jalanan kampus ketika ia mundur mengajakku berjalan berdampingan.

===========

Penulis; Nama saya R. Y. Ita, saya dilahirkan di Daerah Natal, Mandailing Natal, Sumatera Utara pada tanggal 27 Oktober 1990. Saya anak kedua dari enam bersaudara. Dari kecil saya sudah hobi menulis, mengarang puisi dan menulis cerpen. Keinginan untuk mengirim cerita sudah lama saya impikan, tetapi karena beberapa faktor saya harus menundanya, salah satunya tidak ada keberanian karena selalu takut tulisan saya tidak akan diterima, tapi akhirnya saya sadar, jika saya tidak mencoba lalu bagaimana saya tahu kemampuan saya. Dan itu benar, saya sudah sering mengikuti even lomba menulis hanya saja keberuntungan belum berpihak pada saya. Tapi saya akan selalu mencoba.

Editor : Alqaf
Fhoto : Koleksi Pribadi/Net Ilustrasi Photo Editor//

Facebook Comments Box
Artikel ini telah dibaca 37 kali

badge-check

Writer

Baca Lainnya

Usai Dari Padang Laru, Alat Berat PUPR Bertolak Membersihkan Longsoran di Ruas Aek Mata 

15 Oktober 2024 - 08:07

Cawabup Atika Bawa Warga Sopobatu Berobat ke RSUD Panyabungan

14 Oktober 2024 - 20:21

Komunitas Alumni Pola Pertolongan Allah Madina Hadirkan Ust Angga dari Jakarta 

14 Oktober 2024 - 18:29

PUPR Madina Bersihkan Longsoran di Jalan Panyabungan Timur, Warga Ucapkan Terimakasih 

14 Oktober 2024 - 15:13

Orangtua Siswa Minta Polisi Tidur Dibangun di Depan SDN 081 Panyabungan 

14 Oktober 2024 - 10:04

Dimata Warga Madina, Cabup Saipullah Sosok Relijius Dekat Dengan Anak Yatim

13 Oktober 2024 - 20:22

Trending di Berita Daerah