Nasehat Secangkir Kopi
Oleh : Risna Yanti Ita
Semburat merah jingga siap menanjak ke petala langit, perlahan membuka kelopak bunga dan menyibak dedaunan. Angin menepis ramah, sejuk embun riang menyapa. Pagi, waktu yang paling indah untuk mengenang Papa. Mengenang secangkir kopi yang tak pernah absen kusuguhkan untuknya. “Selamat pagi, Pa..“ bisikku lirih pagi ini dengan seribu sesak di dada.
*****
Untuk pertama kalinya aku memagut sepi kala pagi tiba. Setelah hari itu, saat di mana semua terhenyak dan diam menatap sesosok wajah yang membeku tanpa kata, terbujur dengan senyum mengembang tanpa ada beban di pundaknya. Hari dimana secangkir kopi tumpah di pukul 2 dini hari, nasehat terhenti di cerita pagi. Kopi pahit kembali tertelan, sesendok gula tumpah di tangan.
“Siapkan kopi untuk papa,“ begitu setiap paginya. Ketika kalimat itu mengudara dari papa, maka beragam jawaban meluncur dari bibirku. Untuk hari ini mungkin kujawab “iya,“ esok kujawab “Bentar, Pa,“ atau mungkin esoknya lagi aku hanya sekedar mengangguk lalu mulai menuangkan kopi dan gula ke dalam cangkir.
Begitulah setiap paginya. Secangkir kopi merupakan aktivitas awalku di pagi hari, dan itu sangat menyenangkan. Maka setelah itu percakapan ringan mulai menyembur di antara kami, tak jarang papa mengolok-olokku, atau membuat pertanyaan yang membingungkan bagiku, seperti pada suatu pagi kala itu.
“Ana, kamu tahu kenapa kopi rasanya manis?“ pertanyaan papa membuatku tersenyum. “Anak SD juga tahu, Pa jawabannya”
“Kenapa? Hayooo..??” “Kaaan, dikasih gula, Pa.“
Papa mengeleng menanggapi jawabanku.
“Lhaaa?“ “Coba campur gula sama kopi, trusss kamu makan.“
“Kok dimakan?? “Aku heran mendengar kalimat papa.
“Nah itu, katanya anak SD tahu, masa kamu nggak tahu,“ papa mulai menyeruput kopi buatanku. Aku mengetuk-ngetukkan jari ke kepala, berfikir.
“Nah, ini!!!” lagi, papa menunjuk kopi yang dipegangnya dengan telunjuk kanan. Mengulang-ulang gerakan jemarinya seolah menegaskan sesuatu pada secangkir kopi itu.
“Kopi buatanmu ini terasa nikmat, manisnya pas. Padahal kopi itu pahit, kan? Tapi terasa enak begini karena perpaduan gula, kopi dan airnya selaras. Begitu pun kehidupan.” Aku mengernyitkan dahi demi mendengar penjelasan papa. “Ya udah, ayo berangkat. Nanti kamu telat lagi.“
Sampai di situ saja percakapan kami pagi itu. Papa mengantarkanku ke sekolah dengan Motor butut kesayangannya, Yamaha Vega-R keluaran tahun 2005. Sedangkan fikiranku berserabut dengan makna kopi dan kehidupan.
“Lel, kamu tahu kenapa kopi rasanya manis? “pertanyaan papa kulemparkan pada Lela setibanya di sekolah. “Karena dikasih gula, Na.” jawabnya santai, sama dengan jawaban yang kuberikan pada papa.
“Fer, kenapa kopi rasanya manis?” Pertanyaan yang sama kulemparkan kepada Feri ketika aku tiba di kelas.
“Tanya sama Tika keponakan saya di rumah.“ celetuknya.
“Min, kamu tahu nggak ke…”
“Karena dikasih gula, Ana sayaaaaanng. Pertanyaan yang sama, kan?“
Aku hanya memerengkan bibir mendengar celoteh Mimin yang mengejekku.
Kenangan ini, ketika aku masih Aliyah, berusia 17 tahun. Aku benar-benar belum mengerti arti ungkapan papa kala itu. “Kelak suatu hari nanti kau akan mengerti tentang kopi, gula dan air,“ ucap papa padaku saat kutanya kembali tentang hal itu.
Bercerita tentang kopi adalah hal yang paling indah, karena itu satu-satunya kenangan yang paling melekat di benakku tentang papa. Ketika dingin subuh menjarah ujung kaki, maka papa akan berteriak membangunkanku. Dan kopi adalah pelengkap cerita pagi hari.
“Papa, aku jatuh cinta,” begitu ucapku tanpa merasa sungkan bercerita kala itu, ketika usiaku sudah beranjak dewasa di penghujung tahun terakhir kuliahku. Papa meletakkan minumannya di atas meja. Menatapku dingin seolah marah.
“Aku jatuh cinta pada orang yang juga jatuh cinta padaku, tapi ia memilih pergi.“ menggumpal butiran bening di mataku mengatakan hal ini pada papa. Wajah beliau berubah prihatin.
“Siapa nama laki-laki itu?“ tanya papa padaku.
“Fahri.“
“Kau mencintainya?“ aku mengangguk.
“Dia mencintaimu?“ aku mengangguk sama.
“Lalu kenapa ia memilih untuk pergi?“
“Adat,“ bisikku lirih..
Papa mengangguk, “Adat.“ pandangan papa menerawang setelah melafazhkan kata itu. Seolah sedang menyaksikan kisah putrinya yang terbengkalai. Tak tuntas urusan hatinya hanya karena adat. Ya, adat. Bagaimana mungkin lelaki batak diantar ke rumah wanita pesisir? pantang bagi mereka melakukan hal itu. Karena bagaimana pun juga wanitalah yang akan dijemput oleh keluarga laki-laki. Begitu tradisi mereka.
“Putri pesisir dan Putra batak itu memang sulit dipersatukan. Adat mereka itu sangat bertentangan dengan kita. Yaa.. bagaimana pun juga, keluarga kita juga tidak akan pernah mengizinkanmu dijemput oleh keluarganya. Papa juga menginginkan lelaki yang diantar oleh keluarganya menginjak tangga rumah kita, tidak apa-apa lelaki batak, tapi yang penting, dari adat, dia tetaplah diantar, bukan menjemput.”
Hening sesaat setelah kalimat-kalimat itu terucap. Butiran bening makin menggumpal ingin tumpah di pipiku. Aku mengerti keinginan papa.
“Tapi… jika kalian ingin berjuang keras untuk bersatu, lakukan saja, jangan ragu. Silahkan berjuang untuk menaklukkan hati sang pemegang adat tersebut.
“Aaaaargh, aku tidak bisa melihat putriku menangis.“
Kalimat papa mulai tertahan, ditatapnya wajahku yang mulai meredup.
“Sayang sekali, restu papa sudah terlambat.” bisikku dalam hati.
“Tapi Fahri sudah dijodohkan,” ucapku.
Air mataku mulai berburai. Papa menghela nafas berat.
“Kalau begitu berhentilah menangis, hari ini kau akan mengerti tentang makna secangkir kopi.“
Papa berhenti sejenak lalu menyeruput kembali kopi buatanku.
“Saat ini kau sedang menelan kopi pahit, Ana. Tapi suatu hari nanti kau akan menemukan sesendok gula untuk menawar rasa pahit itu. Yang kau alami saat ini merupakan contoh kecil tentang secangkir kopi. Masalahmu yang berat ini kita ibaratkan bubuk kopi yang sangat pahit tapi harus kau telan. Kau mencintai Fahri, tapi harus berpisah dengannya dan itu sakit.
Kopi pahit, gula manis, dan akan lebih nikmat jika diseduh air panas. Akkkhhh,,, putriku sedang jatuh cinta tapi malah langsung patah hati.“ Papa mulai mengeluarkan kelakarnya. Mencoba untuk menghiburku.
“Papaaa..” aku merengek manja. Kuselipkan tanganku di lengannya dan menyenderkan kepala di bahunya.
“Sejak kapan kau jatuh cinta pada pria itu?“
Aku tidak menjawab pertanyaan papa.
“Kau tahu, Ana. Hidup tidak akan selamanya buruk, tidak pula selamanya baik. Manis, pahit, suka duka itu pasti akan kita rasakan. Suatu ketika kita memang harus menelan kopi, tapi itu tidak akan selamanya, begitu pun sebaliknya, tidak selamanya pula gula itu ditelan manis rasanya. Coba kalau tiap hari makan gula, lama-lama terasa asam juga. Pun sama, kalau setiap saat bahagia, setiap hari tak ada masalah, kapan jadi dewasanya, kapan kita bisa memperbaiki diri.
Kalau kita tidak terjatuh maka kita tidak tahu bagaimana cara untuk bangkit. Kalau tidak menelan kopi kita tidak tahu bagaimana rasanya pahit. Kalau kita tidak merasakan derita, tidak patah hati, maka kita tidak akan tahu bagaimana rasanya bahagia. Kenapa secangkir kopi rasanya nikmat, karena gula, bubuk kopi dan airnya selaras. Kenapa kehidupan terasa ringan, santai, kita tidak memberatkan masalah, karena sesuatu yang buruk dan sesuatu yang baik diseimbangkan oleh akal dan hati. Kita tidak akan selamanya terpuruk hanya karena cinta yang tak bersambut, karena hendak yang tak kesampaian.“
Boleh jadi hari ini, kau menangis karena Fahri memilih untuk pergi. Dia pasti punya alasan bukan? Bisa jadi pula esok atau lusa atau mungkin suatu hari nanti seseorang yang lebih baik darinya akan datang, entah itu beradat sama denganmu ataupun tidak. Dan tentu dengan alasannya pula dia menemuimu. Dan itulah gula penawar kopi pahitmu tadi. Maka air panas penyeduhnya adalah akal dan hatimu. Kau seimbangkan segala baik dan buruk dalam hidup, dengan begitu kau tidak akan merasa terbebani. Hidup ini indah jika kau bisa menyelaraskan segala sesuatunya.
”Kuhunjamkan nasihat itu jauh ke dalam hati, kuukir bait demi bait kalimat yang papa lantunkan. Kalimat yang sempat terhenti karena waktu menepati janji. Dan kelak suatu hari nanti aku akan mengenangnya, meski bukan pada suatu pagi.
Mengingat pagi adalah mengingat secangkir kopi, mempelajari takaran gula, bubuk kopi dan air yang selaras. Memaknai tentang duka dan suka, tangis dan tawa. Tentang jatuh untuk bangkit, tentang luka untuk sembuh. Pagi adalah waktu yang paling segar untuk mengenang beribu mutiara pesan yang memburaikan cahaya di sela bibir gelas dan bibir papa.
Menyambut pagi adalah mengingat papa, menimbulkan kerinduan sekaligus kesepian.
====================
Dari Penulis, Nama saya R. Y. Ita, saya dilahirkan di Daerah Natal, Mandailing Natal, Sumatera Utara pada tanggal 27 Oktober 1990. Saya anak kedua dari enam bersaudara. Dari kecil saya sudah hobi menulis, mengarang puisi dan menulis cerpen. Keinginan untuk mengirim cerita sudah lama saya impikan, tetapi karena beberapa faktor saya harus menundanya, salah satunya tidak ada keberanian karena selalu takut tulisan saya tidak akan diterima, tapi akhirnya saya sadar, jika saya tidak mencoba lalu bagaimana saya tahu kemampuan saya. Dan itu benar, saya sudah sering mengikuti even lomba menulis hanya saja keberuntungan belum berpihak pada saya. Tapi saya akan selalu mencoba.
Editor : Alqaf
Fhoto : Koleksi Penulis/Net-Ilustrasi Editor/Point Blur