Menu

Mode Gelap

Opini

Caleg Dan Pemilih ( Menelisik Niat – Tujuan Dan Perbuatan)


					Caleg Dan Pemilih ( Menelisik Niat – Tujuan Dan Perbuatan) Perbesar

Caleg Dan Pemilih

(Menelisik Niat – Tujuan dan Perbuatan)

oleh : M. Daud Batubara, Dr.MSi

Inda rai katua….. adalah kalimat pendek yang sering terdengar pada
masa-masa pencalonan ketika membicarakan strategi memenangkan kursi perwakilan rakyat. Ternyata ilmu pengetahuan, pengalaman, wawasan, pengabdian,  kepedulian dan popularitas yang dimiliki anggota masyarakat yang selama ini diagungkan dalam teori merebut hati masyarakat, tidaklah menjadi ukuran yang kuat dalam merebut kursi kekuasaan. Selama perebutan kekuasaan diperoleh melalui suara rakyat secara langsung, maka saat ini, uang merupakan faktor yang dominan. Inda rai katua (Tidak Bisa itu Ketua)…  merupakan kalimat yang sepertinya telah menjadi kesepahaman antara Caleg dan Pemilih bahwa perebutan kursi kekuasaan harus disertai dengan sejumlah pemberian dana segar pada pemilih. Tanpa dana segar tunai, maka rasanya sulit meyakini untuk mendapat kursi kekuasaan. Persepsi ini bukan saja pada para caleg tapi juga pada pemilih (rakyat).

Bicara politik secara praktis, merupakan pengabdian kepada sesama yang lebih tinggi sebarannya melalui kekuasaan. Maka sering terdengar
“Kalau ingin berbuat banyak ambillah kekuasaan”.  Tentu ini sangat
penting bagi anggota masyarakat yang hidup telah mapan dari segala hal (Tingkat Kebutuhan Aktualisasi Diri; A. Maslow). Kehidupannya hanya untuk mengabdikan diri bagi masyarakat, karena telah dengan mudah memenuhi kebutuhannya dengan sangat baik.  Jadi pengusaha kaya, jadi tenaga pendidik yang tinggi, jadi pemuka agama yang handal atau  jadi tokoh adat yang kuat atau cendikia tidaklah akan sebanding dengan penguasa dalam hal kemaslahatan ummat bila benar-benar dilakoni untuk keteladanan. Hal ini dibuktikan dari tugas penguasa dalam mengambil keputusan yang luas meliputi semua ketokohan tadi. Tidak pula bisa terbalik, karena pengusaha hanya memiliki wilayah kebijakan dalam mengambil keputusan pada besaran usahanya saja.

Itulah Politik, yang secara ekstrim sering disebut sebagai upaya
merebut atau mempertahankan kekuasaan. Menghadapi keadaan seperti itu, hal yang biasanya muncul jadi pertanyaan di benak kita untuk apa berpolitik, dapatah terjawab dengan apa yang dijelaskan oleh
Aristoteles, dengan sangat sederhana bahwa tujuan  berpolitik adalah
mengantar manusia pada hidup yang lebih baik. Oleh karena itu, apa
yang hampir setiap hari kita dengar kata politik melalui media
terutama saat proses pemilu, bukanlah arti yang sesungguhnya. Ternyata istilah politik yang  biasanya dikaitkan dengan perbuatan hitam, kotor bukanlah pemahaman yang benar dari politik.

Politik itu sendiri menurut Frans M.Z. diartikan sebagai kegiatan
manusia yang berorientasi pada msyarakat secara keseluruhan. Selaras
pula dengan Prof Miriam B, yang mendefenisikan politik sebagai segala
kegiatan dalam sistem politik (negara) yang menyangkut proses
menentukan tujuan dari sistem negara dan melaksanakan pencapaian
tujuannya. Sebuah keputusan disebut keputusan politik apabila diambil
berdasarkan kepentingan masyarakat sebagai keseluruhan.  Ini artinya
proses politik bukanlah hanya pada kancah partai politik, pemilu
legislatif atau pemilu. Proses ini hanya sub-sub sistem dari sistem
politik.

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara luas, politik tidak
pula semata-mata diartikan sebagai proses kekuasaan pemerintahan, baik di lembaga legislatif, eksekutif, maupun yudikatif  (suprastruktur
politik). Proses politik juga terjadi dalam proses-proses kekuasaan
yang ada pada lembaga-lembaga non pemerintahan, seperti partai politik dan organisasi kemasyarakatan, sebab lembaga-lembaga tersebut secara langsung maupun tidak langsung ikut terlibat dan berpengaruh terhadap proses kekuasaan di dalam negara (infrastruktur politik). Sebagai sub-sistem politik pemilu legislatif yang sudah mulai bergulir untuk tahun 2019 ini, jelaslah merupakan bagian dari menjejal duduknya orang yang memenuhi syarat oleh partai pada badan legislatif.  Hanya saja saat ini pada proses rekruitmen legislatif di partai-partai sering muncul keyakinan dari para calon legislatif yang terjaring maupun masyarakat pemilih bahwa butuh pengorbanan dana segar untuk memperoleh suara rakyat. Untuk satu kursi di kabupaten/kota digambarkan bukan tanggung-tanggung, karena mencapai setengah milyar. Itupun belum dapat diperhitungkan untuk kepastian duduk. Hitung-hitungan orang yang ikut berkecimpung di dunia seperti ini menyebut tarif minimal duduk mencapai tujuh ratus juta rupiah. Kenapa hal ini terjadi, tentu perlu kajian lebih lanjut dikesempatan lain.

Bayangan kita secara matematis jumlah uang sebanyak tersebut, disisi
lain dengan tugas berat mensejahterakan negara bagi pemenangnya,
tentulah hal yang bertolak dengan akal pikiran. Hal ini sesuai dengan
penjelasan Ramdhlon N. yang menggambarkan tentang lembaga legeslatif sebagai suatu badan yang berdasarkan sistem ketatanegaraan yang dijamin oleh konstitusi, dengan tugas pokok untuk membuat undang-undang.Tentulah tidak dinafikan kalau dari sekian banyak orang masih ada yang benar-benar memikirkan kebijakan negara yang baik untuk masyarakat. Namun jelas bahwa tugas pokok tersebut bukan kekuasan untuk memperoleh penghasilan yang berlebihan.

Memang tidak salah apabila ada keinginan sukses, bertambah kaya atau
popular. Tuhan pun tidak ingin kita menjadi orang yang terus
berkekurangan, dari hidup sampai mati tidak berbuat karya nyata bagi
sesama dan dunia. Tuhan tidak ingin kita menjadi orang-orang gagal
melainkan berhasil, sukses dalam pekerjaan, pelayanan dan aspek
lainnya dalam hidup.  Tetapi sangatlah penting untuk memperhatikan
betul jalan yang ditempuh untuk mencapainya, karena nafsu sangat
senang bermain-main di area-area ini. Jangan sampai seperti memasang
perangkap tikus, tentulah apa yang akan di pasang sebagai umpannya
haruslah yang  enak dan menarik bagi tikus, seperti keju, ikan, atau
potongan makanan enak lainnya. Setelah terjebak masuk ke dalam
perangkap dikalahkan oleh nafsunya, seperti itulah jebakan nafsu untuk
memangsa rakyat lewat berbagai pancingan yang terlihat indah, menarik dan nikmat.

Kekayaan, jabatan dan popularitas merupakan tiga hal yang paling
potensial bagi nafsu untuk menghancurkan. Oleh karena itu, para calon
legislatif seyokyanya memahami proses rekruitmen politik ini sebagai
jalan menuju tanggungjawab besar dengan niat untuk mensejahterakan
rakyat melalui masukan yang bijak dalam pengambilam keputusan di
ranahnya. Bila peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan, naik jabatan dan pangkat, atau popularitas diri, berarti kekuasaan bertambah, gaji pun naik. Sebagian orang menjadikan ini tujuan dan senang karena peluang untuk melakukan penyelewengan yang bisa memperkaya diri pun semakin besar pula.  Jika dahulu orang harus terlebih dahulu bersusah payah untuk menapak selangkah demi selangkah, sekarang bisa memanfaatkan berbagai jalan pintas untuk terkenal. Soal mental siap atau tidak itu bukan soal, yang penting kaya dan populer dulu, urusan lain belakangan saja dipikirin.

Mencalonkan diri, menjadi anggota DPR/DPD/DPRD adalah hak kita sebagai Warga Negara RI, dan itu adalah hal yang sederhana. Yang tidak
sederhana adalah merebut kursi “kekuasaan” itu.  Disinilah pentingnya
mengukur diri, supaya tidak membuang-buang waktu. Ukuran sosial untuk ini asasnya tiga saja, yakni kesempatan, patut dan mungkin. Ketika partai memberi peluang yang sering disebut namanya kesempatan, maka kesempatan harus ditimbang dengan akal dan kalbu. Timbang-timbang kepatutannya, dirasa-rasakan  kemungkinannya, dan direnung-renung. Bila perlu, jangan hanya sekedar merenung, tapi perlu sambil mengopi dan merokok, biar sejalan pikiran dan kalbu. Saat itu mungkin sudah dapat kepala mengingat-ingat dengan baik-baik, apa-apa yang selama ini telah dilakukan untuk kebaikan orang banyak. Boleh aktivis setingkat kampung, setingkat kampus yang gemar menolong dan memberi orang lain berbagai manfaat. Punyakah kita magnet sosial yang mampu menggerakkan orang banyak untuk melakukan aksi sosial, hingga tahu dimana keberadaan diri sebagai masyarakat yang sebentar lagi wajib lebih dahulu peduli kepada kebutuhan rakyat dari pada kepentingan diri. Bila ternyata hasil renung pikiran dan qolbu, terbayang  belum sampai pada hakikatnya maka perbaiki diri dulu.  Ketika kita sedang “susah” apakah kita akan mampu memperjuangkan nasib rakyat yang susah,  karena yang membantu orang susah adalah orang “senang” dan yang membantu orang sempit adalah orang “lapang”. Begitulah logika politiknya, orang tak akan total menyuarakan kepentingan masyarakat karena akan disibukkan untuk memperbaiki ekonomi keluarga duhulu. Pada saat itu anda mencelakai sebuah amanah.

Tapi semua terpulang pada niat dan iktikat, tapi apapun namanya
politik itu nuansa kepentingannya kental. Tergantung cara bagaimana
anda mendistribusikan kepentingan itu sendiri.  Ada kesempatan,
meskipun saku-saku tak mendukung, namun kemungkinan tetap saja ada, jadi tidak perlu cemas. Tak ada yang tak mungkin asal mau kerja keras dengan segala pengetahuan dan keniscayaan. Kembali kepada diri
masing-masing, ketika merasa punya kesempatan dan massa yang
memungkinkan untuk menang, tapi tidak punya biaya politik, apakah
tetap akan rebut kesempatan itu. Atau ambil sikap mendukung
orang-orang yang “siap” dalam arti yang positif.  Dengan demikian
keutamaan moral tidak terletak semata pada kebiasaan yang baik.
Lebih jauh, keutamaan moral menyangkut melakukan hal yang baik pada orang yang benar, pada taraf yang benar, pada waktu yang benar, dengan motif yang benar dan dengan cara yang benar. Keutamaan moral dengan demikian membutuhkan sebuah keputusan tertentu, sebuah kemampuan atau pengetahuan yang dalam bahasa Aristoteles disebut ‘kebajikan praktis.’ Kebajikan Praktis ini adalah kapasitas untuk beraksi yang rasional dan benar dengan penghormatan pada kebaikan manusia. Kebajikan praktis adalah nilai moral dengan implikasi politik. Orang dengan kebajikan praktis dapat mempertimbangkan dengan baik apa yang baik, tidak hanya untuk dirinya tapi untuk seluruh penduduknya, dan untuk kemanusiaan secara keseluruhan.*

Penulis : M. Daud Batubara, Dr.MSi

Facebook Comments Box
Artikel ini telah dibaca 17 kali

badge-check

Writer

Baca Lainnya

Menilik Potensi Ego Sektoral Dalam Trias Politika di Era Kepemimpinan Prabowo

17 Desember 2024 - 21:15

Tokoh Adat Ajak Warga Batahan Pilih SAHATA demi Keberlanjutan Pembangunan

5 November 2024 - 17:35

Tokoh-tokoh Nasional Asal Madina Bersiap ‘Turun Gunung’ Menangkan SAHATA

5 November 2024 - 08:44

Abang Betor Panyabungan Titipkan Asa di Pundak Paslon SAHATA

4 November 2024 - 17:28

Ribuan Warga Hadiri Hiburan Rakyat TKD Bobby-Surya Madina

3 November 2024 - 19:53

Teriakan Bobby-Surya di Sumut, SAHATA Untuk Madina Bergema di Pesta Rakyat

3 November 2024 - 17:54

Trending di Berita Daerah