Kemenangan Indonesia Atas Uni-Eropa, Saatnya Kita Berbenah
Oleh : Ida Kurnia Saragih, S.P
Kemenangan gugatan Indonesia yang ditujukan kepada Uni Eropa atas Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) komoditas minyak sawit merupakan suatu insentif bagi perkebunan kelapa sawit kita. Sebelumnya Indonesia menghadapai kondisi pelemahan ekonomi dari perdagangan minyak sawit pada tahun 2013 setelah pemberlakuan BMAD dengan margin sebesar 8.8 sampai 22.3 persen pada bea masuk minyak sawit di berbagai negara di Eropa. Hal ini berdampak pada perdagangan minyak sawit yang menurut Badan Pusat Statistik pada periode 2013-2016 ekspor biodiesel Indonesia ke Uni Eropa turun sebesar 42.84 persen dari 649 juta dollar AS atau 8.8 triliun (kurs 13,500) pada Tahun 2013 turun menjadi 150 juta dollar AS atau 2.02 triliun rupiah pada Tahun 2016 dan nilai ekspor biodiesel Indonesia ke UE paling rendah terjadi pada Tahun 2015 yaitu sebesar 68 juta dollar AS atau sekitar 877.5 miliar rupiah. Hingga pada saat BMAD resmi dihentikan per tanggal 16 maret 2018 pada siaran pers direktur jendral pedangangan luar negeri Oke Nurman beberapa waktu lalu telah menginformasikan bahwa tren ekspor biodiesel Indonesia ke UE pada periode sejak pengenaan BMAD sampai dengan dikeluarkannya putusan akhir DSB WTO (2013-2016) diestimasikan sebesar 7%. Jika peningkatan tersebut dapat dipertahankan dalam dua tahun ke depan, maka nilai ekspor biodiesel Indonesia ke Uni Eropa pada tahun 2019 diperkirakan mencapai USD 386 juta dan pada Tahun 2022 mencapai USD 1,7 miliar.
Mengingat bahwa devisa kita masih bergantung kepada sektor ini sekitar 35 persen maka sangatlah penting melindungi sektor ini dari berbagai hambatan perdagangan. Kampanye negatif sering kali ditujukan kepada produk kelapa sawit kita, berbagai isu seperti kerusakan lingkungan, penyebab utama deforestasi, hilangnya keaneka ragaman hayati, hingga emisi gas rumah kaca serta isu pemerintah memberi subsidi pertanian kepada petani kelapa sawit. Hal mendorong pemerintah Indonesia dan negara produsen lainnya membuat sertifikasi keberlanjutan (sustainability) perkebunan kelapa sawit yang disebut dengan ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) yang bersifat wajib dan RSPO (Roundtable Sustainable Palm Oil) yang bersifat sukarela bagi perusahaan perkebunan kelapa sawit guna mencegah memperbaiki citra perkebunan kelapa sawit dimata konsumen. Mekanisme pemberlakuan sertifikat ini disusun sedemikian elok dengan harapan mengembalikan kepercayaan negara importir pada produk minyak sawit Indonesia. Namun dengan semakin sengitnya persaingan dagang antara negara-negara produsen minyak nabati, persoalan-persoalan lain tetap dapat muncul untuk menghadang minyak sawit.
Minyak sawit yang harganya lebih murah dibanding pesaingnya RSO (Rapeseed Oil), SFO (Sunflower Oil), SBO (Soybean Oil) yang diproduksi negara-negara di Eropa membuat minyak sawit selalu diterpa isu miring, sehingga konflik perdagangan tidak dapat dihindari untuk mempertahankan produk masing-masing negara. Sebagai negara yang masih bergantung kepada produk pertanian khususnya kelapa sawit Indonesia harus mempersiapkan sedini mungkin perlindungan, perbaikan, hingga pembangunan agroindustri dan perkebunan kelapa sawit.
Lembaga riset PASPI (Palm oil Agribusiness Strategic Policy Institute) dalam penelitian empirik menyatakan bahwa kebutuhan Uni Eropa akan minyak nabati diperkirakan akan terus meningkat apabila melihat pangsa minyak nabati di Uni Eropa sebesar 29.42 pada tahun 2016 diiringi dengan perkembangan kebutuhan akan minyak nabati di UE pada produk biodiesel. Produk minyak nabati lain sebagai produk sustitusi tidak sepenuhnya mampu mencukupi kebutuhan tersebut karena produktivitas RSO, SFO, SBO jauh dibawah CPO, hal ini berarti minyak nabati lainnya memerlukan lebih banyak lahan dibanding CPO, maka untuk meningkatkan produksinya akan lebih banyak mengakibatkan deforestasi. Dengan adanya fenomena diatas maka kiranya sudah saatnya pemerintah kita perlu memfokuskan kebijakan yang tepat bagi keberlanjutan produk minyak sawit mulai dari hulu hingga hilir dalam produksi CPO dan produk turunannya karena ketergantungan dunia pada CPO tidak dapat dihindari.
Saat ini perkebunan kelapa sawit telah memasuki perkembangan tahap ke dua dimana terfokuskan pada peningkatan produktivitas. Langkah awal yang sebaiknya diambil dalam merumuskan kebijakan adalah dengan melihat segmentasi areal perkebunan Perkebunan kelapa sawit Indonesia yang terbagi atas perkebunan besar negara (PBN), swasta (PBS), dan rakyat dan sekitar 35 persennya adalah perkebunan rakyat. Permasalahan krusial perkebunan kelapa sawit rakyat adalah rendanhya produktivitas dibanding swasta dan negara dimana PBN sebesar 3.32 ton per hektar, PBS sebesar 3.17 ton per hektar, dan perkebunan rakyat hanya 2.38 ton per hektar. PBN dan PBS memang lebih unggul karena dengan berbagai sistem dan mekanisme aspek agronomi dan ekonomi lebih mudah diterapkan dengan good corporate governance, good agriculture practice, dan produk yang memenuhi SNI sesuai persyaratan yang ditetapkan ISPO maupun RSPO. Lalu permasalahannya kini adalah bagaimana caranya agar perkebunan rakyat juga memiliki standar yang sama atas dasar pemerataan.
Perkebunan rakyat sering kali terabaikan dari segi teknologi, kurangnya modal dan skill yang dimiliki petani hingga berdmpak pada rendahnya produktivitas. Dalam kasus perkebunan kelapa sawit memang terdapat berbagai solusi menghadapi ini, yang telah berlangsung hingga saat ini adalah pola kemitraan dimana petani yang memiliki lahan bermitra dengan perusahaan yang memiliki teknologi dan management. Namun tidak sedikit pula petani yang enggan mengikuti program ini dengan alasan ketidakadilan pembagian hasil dan lain sebagainya. Fenomena ini perlu menjadi perhatian pemerintah untuk menghimpun petani perkebunan kelapa sawit untuk membangun skill untuk peningkatan produksi. Peningkatan produksi tanpa menambah luas lahan dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain best management practice dan penggunaan benih unggul pada kesempatan replanting (peremajaan).
Pertumbuhan intensifikasi (penambahan produktivitas) dirasa menjadi yang paling tepat karena lebih sustainable, efektif dan efisien. Mengingat kebanyakan lahan perkebunan kelapa sawit yang telah memasuki usia tanaman tua yang akan habis satu sikulus tanam (25 tahun) maka selajutnya akan memasuki masa replanting yang dapat dijadikan sebagai momentum perbaikan sistem dan komoditas. Hambatan lain dalam replanting perkebunan kelapa sawit adalah besarnya dana yang dibutuhkan untuk standar replanting perkebunan sekitar 60 Juta Rupiah per hektar. Sebaiknya pemerintah menghindari pemberian bantuan dana karena akan lebih mempersulit perdagangan minyak sawit akibat isu pemberian subsidi.
Sebenarnya apabila dicermati lebih lanjut, pemerintah maupun pihak perbankan dapat menjadikan momentum ini sebagai program untuk membantu petani mempersiapkan kebutuhan replanting sejak dini. Pemerintah melalui perbankan dapat bersinergi dengan membuat program tabungan atau simpanan persiapan replanting dengan berbagai mekanisme yang dapat ditetapkan pihak perbankan. Apabila dibutuhkan pemerintah bisa saja bekerjasama dengan pihak perguruan tinggi melakukan riset yang dapat mengahasilkan rumusan alur pendanaan yang tidak memberatkan petani agar tidak mengurangi konsumsi petani dalam memenuhi kebutuhuannya. Sasaran utamanya adalah meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani agar menciptakan iklim perdagangan yang kondusif bagi negara.
Membenahi seluruh kekurangan aspek perkebunan kelapa sawit tidaklah mudah, namun dengan sedikit keseriusan dan keberpihakan kepada petani kelapa sawit sebaiknya pemerintah mulai meikirkan hal ini sedini mungkin. Mengingat bahwa semakin majunya teknologi yang dimiliki negara tetangga penghasil CPO dan semakin membaiknya perdagangan CPO ke negara Uni Eropa maka Indonesia tidak boleh kalah. Kita harus lebih fokus terhadap teknologi dan tidak lagi selalu mempermasaahkan kekurangan modal. Pangsa perdagangan minyak kelapa sawit kita besar, industry kita maju, tenaga kerja kita mumpuni, hanya saja petani kita perlu pendampingan dan motivasi. Apabila seluruh aspek ini dapat bekerja sama dengan baik maka tidak ada yang dapat diragukan lagi Indonesia akan selalu memimpin produk minyak sawit di perdagangan dunia. Harapan kita semua adalah dengan perbaikan produk kelapa sawit maka perekonomian negara ini dapat membaik dari peningkatan devisa, penyerapan tenaga kerja dan mereduksi kemiskinan.(*)
Penulis : Ida Kurnia Saragih, S.P* Mahasiwa Magister Agribisnis Institut Pertanian Bogor, S1, Agribisnis Universitas Jambi,SMA Neg.1 Pematang Siantar.