Menu

Mode Gelap

Opini

Hoax dan Ujaran Kebencian


					Hoax dan Ujaran Kebencian Perbesar

HOAX dan UJARAN KEBENCIAN

Oleh : Drs. H. Dahlan H. Nasution

‘Hoax’ atau ‘fake news’ bukanlah hal baru, tapi sudah ada sejak
Gutenberg menciptakan mesin cetak tahun1439 dan menjadi trend di dunia kembali. Kata ini semakin kental dengan media sosial dan peminatnya. KBBI menyebut, ‘hoaks’ sebagai ‘berita bohong’, OE Dictionary, mengartikannya sebagai ‘malicious deception’ atau ‘kebohongan yang dibuat dengan tujuan jahat’. Jadi defenisinya bukan sebagai netizen sering sebut yakni ‘berita yang tidak saya sukai’. Hoaks dijelaskan sebagai informasi palsu yang secara sengaja dilakukan untuk menipu pembaca / pendengar dengan tujuan tidak baik. Artinya, sang pencipta berita palsu tersebut tahu bahwa berita tersebut adalah palsu dengan tujuan jahat. Berbeda dengan ‘Sulap” yang sejak awal orang memahaminya sebagai permainan trik dengan tujuan hiburan semata.

Hoax, awalnya terkait etika freedom of speech dari negara bertradisi liberal yang pro terhadap kebebasan mengemukakan pendapat bahkan menyalahkan seseorang atau me muji seseorang dengan sebebasnya pada suatu komunitas (Floridi). Kemudian pemanfaatan internet yang mudah menghubungkan orang di dunia global pada genggamannya, didukung sifat manusia yang cenderung ingin kebebasan, membuat hak Freedom of Speech-pun seringkali disalahgunakan menjadi hoax yang bertujuan membuat sensasi di media sosial. Sering dilakukan secara sengaja agar pengguna internet tertarik mampir di websitenya, dengan target kunjungan yang banyak demi keuntungan websitenya.

Tempat bersemayam HOAX yang paling nyaman, sehingga paling sering digunakan adalah media sosial. Tentulah ini bagian dari dampak buruk kemajuan teknologi informasi komunikasi. Penyampai informasi yang cepat ini seperti facebook, twitter, sms, whatsapp, line dan lainnya. Survei yang dilakukan oleh Pew Research Centre, di Amerika, membuktikan hanya 39% warga dewasa Amerika yang dapat mengenali hoax. Dapatlah dibayangkan bagaimana penyebaran dan penerimaan Hoax di negara kita yang reting pendidikan dan kegemaran membaca yang relative rendah dengan kondisi warganya sebagai pengguna android terbanyak di Asia.Tentang anak-anak, Common Media Sense menyebut bahwa anak-anak lebih menyukai sumber berita mereka 39% dari media sosial, 36 % dari keluarga, guru atau teman dan 24% dari media tradisional. Hal ini tentu menjadi tugas berat bagi tiap orang untuk lebih peduli dan giat mengedukasi pengenalan hoax terhadap anak.

Kemenkominfo melalui CNN Indonesia menyebut ada sekitar 800 ribu situs di Indonesia yang terindikasi sebagai penyebar berita palsu dan ujaran kebencian (hate speech), meskipun selama tahun 2016 sudah memblokir 773 ribu situs berdasar pada 10 kelompok, namun tiap hari terbit yang baru lagi. Kesepuluh kelompok tersebut di antaranya mengandung unsur SARA, radikalisme, kekerasan, penipuan / dagang ilegal, narkoba, perjudian, anak, pornografi, keamanan internet, dan Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Beberapa jenis hoax dapat dikenali sebagai Hoax proper, yakni berita bohong yang dibuat secara sengaja untuk menipu; Beda Judul dengan Isi, sehingga perlu membaca isinya agar tidak terkecoh dari judul yang heboh dan provokatif dan menyulut emosi; Berita benar waktu berbeda; diterbitkan kembali dengan membuat kesan baru terjadi, sehingga menyesatkan orang.

Respati dalam pandangan psikologisnya, menyebut dua faktor yang dapat menyebabkan kecenderungan mudah percaya pada hoax yakni jika informasinya sesuai dengan opini atau sikap yang dimiliki. Secara alami perasaan positif akan timbul dalam dirinya jika opini atau keyakinannya terafirmasi, akan kurang selektif terhadap kebenaran informasi yang diterimanya. Lebih lanjut bagi mereka yang kurang keilmuan dalam memanfaatkan internet guna mencari informasi lebih dalam atau sekadar untuk cek dan ricek fakta.

HOAX berakibat buruk terhadap masyarakat yakni; meningkatkan kecenderungan potensi criminal; overload informasi; menjadi curiga bahkan membenci kelompok tertentu; menyusahkan bahkan menyakiti secara fisik orang yang tidak bersalah; lebih parah adalah pengambilan kebijakan dengan innformasi yang salah bagi pembuat kebijaksanaan menyangkut public. Efek lainnya mempersempit pandangan dan wawasan, dengan menyamankan orang pada media yang mendukung persepsi untuk tidak membuka diri terhadap dunia lain; Memicu perpecahan, karena fitnah yang dapat mempermainkan emosi pembaca, yang berujung pada perpecahan di kalangan masyarakat; Memunculkan sikap apatis, masyarakat terhadap politik dan cenderung menurunkan jumlah pemilih pada saat pemilu; Menimbulkan kebingungan, memengaruhi cara kita menginterpretasikan dan merespon terhadap berita faktual.

Berita hoax membuat kita jadi bingung dan kesulitan menentukan mana yang benar; Menjadi alat propaganda, melalui pembentukan opini dan menggerakkan masyarakat, khususnya masyarakat yang mempunyai pola pikir sama dengan isi berita, untuk melakukan sesuatu sesuai dengan yang dikehendaki pembuat berita; Merugikan dan merusak reputasi, seseorang atau suatu lembaga lewat berita hoax bisa membentuk opini negative hingga merugikan pihak yang sama sekali tidak bersalah.

Untuk itu perlu menangkal Hoax yang menurut Nugroho dapat dilakukan dengan lima pendekatan yakni: hati-hati dengan judul provokatif; cermati alamat situs; periksa fakta; dalam hal foto cek keaslian foto; ikut serta grup diskusi anti-hoax. Lebih lanjut dapat pula mencermati kiat; Rutinlah membaca berita dari media yang well-established dan dihormati; Orang yang paling rentan hoax adalah orang yang jarang mengonsumsi berita; Berita yang kedengarannya tidak mungkin, bacalah dengan lebih teliti; cermat dalam men-share artikel/foto/pesan yang tidak dipahami maknanya; Cek emosi, yang jika berita tersebut membuat marah atau kesal, ini menjadi pertanda kalau anda sedang dipermainkan. Periksa sumber-sumber berita terpercaya lainnya sebelum meyakini kebenaran berita tersebut.

Pemerintah telah mengambil sikap yang cerdas pada dinamika hoax terhadap penyebar hoax tersebut antara lain melalui KUHP, UU 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), UU 40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Penyebar Hoax juga dikenakan pasal ujaran kebencian dalam UU. Hanya saja sampai saat ini sangat sedikit yang sampai terselesaikan di meja hukum. Kondisi ini juga belum maksimal karena penyebaran hoax semakin banyak dan tidak sebanding dengan kemampuan penegakannya. Pemerintah masih lebih fokus pada pemblokiran terhadap situs-situs  hoax,  sehingga pembuat hoax masih melakukan ancaman dalam memperluas ruang geraknya. Upaya lain yang dilakukan oleh pemerintah terhadap aparatnya tentang Hoax dan Ujaran Kebencian adalah melarang dengan tegas: Menyampaikan pendapat baik lisan maupun tertulis lewat media sosial (medsos) berupa ujaran kebencian terhadap Pancasila, UUD, Bhineka Tunggal Ika, NKRI, dan Pemerintah; Menyampaikan pendapat baik lisan maupun tertulis lewat medsos berupa ujaran kebencian terhadap Suku, Ras, Agama dan Antargolongan; Menyebarluaskan pendapat bermuatan ujaran kebencian melalui media sosial; Mengadakan kegiatan yang mengarah pada perbuatan Menghina, Menghasut, Memprovokasi dan Membenci Pancasila, UUD, Bhineka Tunggal Ika, NKRI, dan Pemerintah; Menghadiri kegiatan yang mengarah pada perbuatan Menghina, Menghasut, Memprovokasi dan Membenci Pancasila, UUD, Bhineka Tunggal Ika, NKRI, dan Pemerintah; serta Menanggapi atau mendukung sebagai tanda  setuju pendapat dengan memberikan likes, dislike, love, retweet atau comment di medsos.

Dengan demikian, perlu mengasah kembali pendidikan yang menanamkan budi pekerti, gemar membaca karena bila dipadukan dengan fakta bahwa Indonesia merupakan negara dengan aktifitas jejaring sosial tertinggi di Asia, sehingga sangat mudah di Indonesia menyebarkan informasi hoax. Atau juga mengikuti saran Prof. Lauro, agar semua anak dibekali dengan keahlian membaca dan melihat berita secara kritis. Pendidikan internet lebih pada pembelajaran tentang etika bermedia internet, bukan pengajaran melalui media. Ini bertujuan mengembangkan pemahaman kritis yang partisipatif, sehingga konsumen media internet memiliki kemampuan menafsirkan dan menilai informasi yang diperolehnya.(*)

Penulis : Drs. H. Dahlan H. Nasution*

Facebook Comments Box
Artikel ini telah dibaca 64 kali

badge-check

Writer

Baca Lainnya

Menilik Potensi Ego Sektoral Dalam Trias Politika di Era Kepemimpinan Prabowo

17 Desember 2024 - 21:15

Tokoh Adat Ajak Warga Batahan Pilih SAHATA demi Keberlanjutan Pembangunan

5 November 2024 - 17:35

Tokoh-tokoh Nasional Asal Madina Bersiap ‘Turun Gunung’ Menangkan SAHATA

5 November 2024 - 08:44

Abang Betor Panyabungan Titipkan Asa di Pundak Paslon SAHATA

4 November 2024 - 17:28

Ribuan Warga Hadiri Hiburan Rakyat TKD Bobby-Surya Madina

3 November 2024 - 19:53

Teriakan Bobby-Surya di Sumut, SAHATA Untuk Madina Bergema di Pesta Rakyat

3 November 2024 - 17:54

Trending di Berita Daerah