DIKOTOMI DAMPAK ADD DI PEDESAAN
oleh. M. Daud Batubara, Dr., MSi.
Dikotomi (dichotomy,Inggris) artinya membedakan dan mempertentangkan dua hal yang berbeda. Serapannya ke dalam Bahasa Indonesia menjadi dikotomi yang arti harfiahnya adalah pembagian atas dua kelompok yang saling bertentangan. Maka ketika menempatkan sesuatu pada dua kutub yang berbeda yang sulit untuk diintegrasikan, sikap tersebut sudah menjadi sikap dikotomi.
Pendektan ini mirip dengan suasana desa-desa se-Indonesia saat ini bagai berada di persimpangan jalan dan ada kehkawatiran mengarah pada suasana dikotomi. Arah pertama mengharuskan desa pintar menggunakan dana desa untuk membangun kesejahteraan desa. Arah lainnya menunjukkan gambar meja pengadilan jika sampai terjadi praktik yang salah dalam menggunakan dana. Celakanya, dua arah ini pada akhirnya bakal bertemu diranah masyarakat.
Beberapa pihak sempat berpolemik mengenai UU Desa. Pihak yang mendukung merasa bahwa selama ini desa menjadi bagian wilayah yang selalu terpinggirkan. Desa kemudian identik dengan keterbelakangan, penduduk usia renta, profesi tak mentereng serta kemiskinan. Yang terjadi kemudian penduduk usia produktif di desa berbondong-bondong pindah ke kota, dengan harapan memperbaiki kesejahteraannya. Jadilah desa semakin terpinggirkan sementara kota mengalami over population. Karenanya, mereka menilai guyuran dana diharapkan mampu mengubah wajah desa, minimal menghambat meledaknya arus urbanisasi di kemudian hari.
Persoalannya adalah pihak yang menentang merasa bahwa persoalan utama desa bukan sekedar tidak adanya anggaran. Bagaimana mengubah sistem, mind-set dan perilaku masyarakat justru menjadi agenda lebih krusial. Ketika persoalan ini belum teratasi, ditambah dengan masalah kualitas manusia yang masih terbatas, alokasi dana yang melimpah justru akan menimbulkan moral hazard baru di kalangan aparat desa. Dengan menggunakan asumsi data jumlah desa tahun 2014 sebanyak 72.944 desa, maka tiap-tiap desa diperkirakan akan mengelola dana sebesar Rp1,4 miliar. Dibandingkan kondisi yang ada saat ini, penambahan alokasi dana tersebut tentu sangat luar biasa.
Realitasnya, pemerintah mengucurkan dana desa tahun 2017 menyentuh budget Rp. 60 Trilyun, angka ini naik dari Rp. 46,7 trilyun pada 2016 lalu. Ini belum seberapa, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi bahkan yakin bakal mengucurkan Rp. 120 trilyun pada 2018. Besarnya dana bagi desa ditambah kepercayaan pemerintah pusat pada desa yang begitu besar dan langsung menciptakan dua persoalan rumit. Di satu sisi membuat desa harus berpikir keras menyusun program kerja yang bisa menciptakan perubahan ekonomi signifikan bagi desanya. Tetapi di sisi lain membuat para perangkat desa juga menjadi tergiur dengan besarnya nominal yang masuk ke rekening desa mereka. Hasilnya gampang ditebak, tiba-tiba muncullan berderet kasus penyalahgunaan dana yang menyeret kepala desa ke balik tembok dingin penjara.
Dalam kenyataannya, ada banyak kepala desa yang tak bisa mengendalikan egoisme-nya sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan desa. Akhirnya Kepala Desa tidak mampu membangun efektivitas kerja sama tim yang bekerja dan tidak mampu menunjukkan akuntabilitas dan transparansi. Keleluasan kekuasaan Kepala Desa lalu menerbitkan niat jahat, menyalahgunakan dana. Masalah lain, adalah banyak desa yang perangkatnya belum paham tentang substansi dan urusan teknis tentang aturan hukum mengenai dana desa dan tidak menguasai panduan komprehensif mengenai dana desa sehingga pemahaman pengelolaan dana desa hanya seputar pencairan dana desa, perumusan alokasi kegunaan dana desa dan pelaporan administratif. Kasus seperti ini banyak terjadi dan akhirnya tetap menyeret kepala desa ke meja pengadilan bahkan ada yang benar-benar kecelakaan dalam arti, sama sekali tidak bermaksud menyalahgunakan wewenangnya sebagai kepala desa tapi berurusan dengan hukum.
Munculnya pelanggaran penataan rencana anggaran yang tidak melibatkan pihak-pihak yang berkewajiban dengan indikasi Rencana Anggaran yang sama dari sekian banyak desa. Hal seperti ini tentu mengindikasikan pula bahwa rencana anggaran merupakan hasil copy paste satu dengan yang lainnya, sebagai tanda bahwa rencana tersebut belum tentu merupakan kebutuhan masyarakat desa setempat. Banyaknya kepala desa yang berbondong-bondong pergi pendidikan secara bersamaan dengan waktu dan besaran anggaran yang sama, juga menunjukkan kurang tepatnya rencana.
Terlepas dari kenyataan itu, problem yang sangat urgen, tentulah masih lemahnya pengawasan publik. Pengawasan berbanding terbalik dengan tingkat kepatuhan penggunaan dana sesuai aturan pemerintah. Semakin lemah pengawasan semakin kuat kemungkinan perangkat desa menyalahgunakan dana. Semakin kuat pengawasan, semakin baik jalannya penggunaan dana. Maka harus ada penanganan khusus dalam menggunakan dana desa agar para perangkat desa tidak perlu terjebak dalam beberapa masalah di atas. Soalnya, banyaknya kasus penyalahgunaan dana desa sekarang ini menyeret banyak kepala desa ke meja hijau, namun baunya aroma di pedesaan tidak tercium rasa ketakutan para kepala desa dalam menyalahgunakan dana desa ini. Pengawasan ini, terlebih lagi menjadi sangat penting karena ICW pada 2016 lalu menemukan bahwa korupsi dana desa meningkat pesat, menempati peringkat ketiga sektor yang paling banyak ditangani penegak hukum. Ancaman hukuman hanya berupa penundaan penyaluran Dana Desa. Itupun hanya dikaitkan dengan persoalan pelaporan administrasi tanpa evaluasi kualitas penggunaan.
Sebut saja operasi tangkap tangan KPK di Pamekasan, Madura, Jawa Timur, menetapkan bupati, kepala desa, dan kepala Kejaksaan Negeri Pamekasan menjadi tersangka kasus dugaan korupsi dana desa.Kasus ini menguatkan kekhawatiran sejumlah kalangan tentang pengelolaan dana yang dinilai rawan korupsi. Demikian pula data Kemendesa PDT, pada tahun 2016 terdapat 932 aduan adanya dugaan penyimpangan dari penggunaan Dana Desa. Penyimpangan tersebut mengindikasikan bahwa penggunaan dana desa masih kurang dalam hal pengawasan, sehingga masih banyak terjadi penyimpangan dalam proses penggunaanya. Penyimpangan ini bisa terjadi karena beberapa faktor seperti belum siapnya sumber daya manusia yang mengelola, mekanisme pelaporan yang kurang transparan, dan kurangnya memaknai akan pentingnya fungsi dana desa itu secara keseluruhan. Maka dari itu, perlu dilakukan pencegahan dan pengawasan yang ketat dari masyarakat dan lembaga terkait. Namun dibalik jumlah “recehan” operasi tangkap tangan KPK tidak bisa dinafikan bahwa desa-desa banyak yang berhasil memanfaatkan dana yang dikucurkan sejak 2015 tersebut, sehingga benar-benar berada pada dua kutub.
Pencegahan preventif paling tidak bisa dilakukan dengan tiga cara untuk menyiasati ini. Pertama, kepala desa mengisi struktur organisasi desa/perangkat desa dengan memilih orang-orang yang berkompeten sehingga dapat mengelola Dana Desa dengan baik. Pemilihan orang-orang ini bertujuan agar pengelolaan nantinya bersifat terorganisir dan terstruktur sehingga dapat dipertanggungjawabkan. Kedua, perangkat desa harus belajar menyiapkan laporan penggunaan Dana Desa yang transparan serta akuntabel, sehingga masyarakat tidak akan bersifat skeptis terhadap realisasi penggunaan Dana Desa. Jika perlu, realisasi penggunaan Dana Desa tersebut dapat dipublikasikan di wilayah-wilayah strategis seperti papan pengumuman kantor-kantor di pedesaan. Ketiga, dalam hal penggunaan/penyaluran dana tersebut harus ada pengawasan masyarakat lewat Badan Permusyarawatan Desa (BPD). Dalam PP No. 43/2014 Pasal 51 disebutkan bahwa laporan keterangan penyelenggaraan pemerintah desa dapat digunakan oleh BPD dalam menjalankan fungsi pengawasan kinerja kepala desa. Dengan adanya fungsi tersebut diharapkan masyarakat dapat menjadi mekanisme kontrol lewat BPD, dan BPD sendiri diharapkan dapat menjalankan perannya semaksimal mungkin terkait penggunaan anggaran.
Dengan demikian diharapkan dapat menepis dikotomi dampak ADD dipedesaan antara dampak baik yakni pembangunan yang semakin membaik dirasakan masyarakat akibat kejujuran dan dampak buruk seakan membangun karakterisitik kuruptor pada perangkat pemerintah di pedesaan akibat ketidakjujuran. Atau juga antara rasa bangga masyarakat terhadap perangkat desa yang benar atau menjadi cemoohan masyarakat atas karaketrsitik barunya sebagai koruptor. Saat ini pearangkat yang tidak jujur belum tersenyum dengan kocek yang diperoleh, karena masih tersembunyikan. Akan tetapi dengan RAB pada Rencana Anggaran yang sama pada banyak desa, apabila satu saja terungkap kebobrokan ini di masa yang akan datang, maka dengan mudah terendus keseluruhannya di mata hukum. Mari kita hapus dikotomi dampak ini, jangan sampai terjebak dalam jeratan hukum.